Musuh Dari Musuhku Bukanlah Kawanku

Salah satu ilusi penting dan berbahaya yang beredar di kalangan kaum Kiri adalah berpikir bahwa musuh dari musuhku adalah selalu berarti ia kawanku. Saat mereka yang mengklaim memusuhi kapitalisme telah menempati skala terkecil dari seluruh segmen masyarakat, terlebih lagi di Indonesia, mereka yang menyebut diri mereka radikal itu justru masih menerima dengan tangan terbuka tatanan masyarakat saat ini dalam level ketidaksadarannya. Hal ini hanya menjadikan mereka sebagai oposisi yang tepat dengan definisi dalam masyarakat, sebuah oposisi yang masih berbicara dengan bahasa sistem saat ini.

Apa yang menjadi fokus kami dalam artikel ini adalah kemunculan ideologi anarkis modern di tengah-tengah gerakan Kiri di Indonesia. Anarkisme menurut definisinya akan beroposisi dengan seluruh bentuk pemerintahan dan ini adalah sebuah definisi akhir yang disetujui bersama. Dalam “gerakan anarkis”, banyak individu yang memang berkomitmen penuh, melakukan aktifitasnya demi terciptanya sebuah revolusi proletarian. Kritik kami bukanlah bertujuan untuk mengabaikan niat baik orang-orang tersebut ataupun memperlihatkan bahwa apa yang mereka lakukan adalah sebuah kesalahan. Kami bertujuan untuk memperlihatkan bagaimana menerima ideologi anarkis sebenarnya justru dapat menegasikan gol-gol mereka sendiri.

Sangat kontras dengan opini popular, ideologi bukanlah sebuah dosa asal. Ia juga bukan sesuatu yang dimiliki oleh setiap orang tanpa dapat terelakkan. Ia adalah sebuah fenomena kapitalisme; “ide tentang kekuasaan/ide yang melayani kekuasaan”. Spectacle, kebohongan utama dalam masyarakat Dunia Tontonan, terletak dalam penyeimbangan kekuasaan kelas. Saat segala macam distorsi telah mendukung spectacle, sistem saat ini hanya menyebarkan ide yang dimainkan sedemikian rupa sehingga ia dapat menjadi sebuah kebohongan. Maka, kami juga bertujuan untuk memperlihatkan dengan tepat peran yang dimainkan oleh anarkisme dalam sebuah dialog spectacle dengan dirinya sendiri.

Kaum Kiri

Mereka (kaum Bolshevik) sedang berusaha untuk menciptakan sebuah “gagasan dominan” yang baru, tanpa sebenarnya pernah benar-benar melawan ide tentang pemerintahan.

Menolak konsep “Kanan” dan “Kiri”. Harapan-harapan tersebut, yang juga bergema melalui banyak pemikir politis yang “netral”, hadir dari sebuah hasrat untuk melarikan diri dari tekanan sejarah. Dengan “melarikan diri dari pelabelan- pelabelan pemberontakan dan pendefinisian ulang radikalisme”, mereka yang berada dalam definisi kaum Kiri sekarang berpartisipasi dalam bidang politik agar dapat melindungi diri mereka sendiri dari pengasosiasian dengan para pendahulu mereka, dari liberalisme hingga Bolshevikisme.

Sialnya bagi mereka yang rasional tersebut, ketertarikan dalam sektor manajerial agar dapat melarikan diri dari sejarahnya yang hina sebagai kaum Kiri tidaklah sebesar ketertarikan untuk dapat bekerja sama sebagai kaum Kiri. Kaum Kiri, dari partai Komunis hingga para sosialis reformis, telah menjadi sektor “rasional” dari kaum borjuis, sektor yang paling berorientasi pada pembentukan kapitalisme negara.

Kaum Kiri dapat tampil dalam banyak bentuk. Baik ia “radikal” ataupun “reformis”, serikat-serikat pekerja menunjukkan bagaimana peran kaum Kiri dalam tataran hidup keseharian. Asosiasi pekerja dengan boss dan institusi negara, hampir selalu dapat ditemukan dan dianggap wajar, sejak ketiga pihak tersebut pada dasarnya adalah jaring pengaman sosial. Serikat pekerja, dalam hampir seluruh waktunya dihabiskan sebagai sebuah badan pengontrol pekerja agar tetap dapat berada di jalur, meminta kenaikan upah yang disaat yang sama juga meminta para pekerja agar bertingkah sesuai jalur hukum. Apa yang membedakan serikat pekerja dengan sebuah tinja adalah kemampuan mereka dalam “merepresentasikan” pekerja. Saat para pekerja tetap terisolasi dalam pekerjaan dan peran mereka sebagai pekerja, serikat pekerja dapat tampil sebagai sebuah ekspresi atas “aspirasi” para pekerja. Serikat pekerja juga dapat menjadi sangat represif saat para pekerja di bawahnya menjadi terlalu militan untuk dapat menerima tuntutan pasar. Ia akan beraksi mengontrol “perjuangan” dan memandulkan setiap aksi radikal yang seringkali dimunculkan oleh para pekerja.

Sistem proteksi seperti ini dapat disamakan dengan kerja-kerja badan amal, organisasi keagamaan, atau politik “progresif”. Tanpa membutuhkan kesadaran yang buruk, kaum Kiri berdiri demi terciptanya keadilan dalam sistem saat ini. Bagi konsumer, pembayar pajak atau borjuis kecil diberikan hak untuk mempertontonkan fungsi mereka dalam masyarakat. Setiap tuntutan proletariat akan digodok agar dapat menjadi “program televisi yang berkualitas” atau menjadi tuntutan hak untuk bekerja.

Birokrasi

Birokrasi adalah tempat dimana kaum Kiri disempurnakan perannya. Sebagaimana di abad pertengahan para raja tergantung pada para pendeta dan penasehatnya untuk menjustifikasi hak-hak suci bagi raja untuk memerintah, negara kapitalis juga membutuhkan ideologi untuk menciptakan sebuah teologi bagi negara untuk menjustifikasi pemerintahannya. Ideologi Kiri adalah sebuah tipe birokrasi; hal-hal yang memiliki kecenderungan menuju pembentukan sebuah sistem kapitalisme negara yang murni.

Saat kaum Kiri adalah pelayan dan penjustifikasi negara, retorika kaum Kiri selalu berorientasi tentang perubahan dalam masyarakat. Hal ini memang alamiah semenjak banyak varietas Kiri dibentuk sebagaimana birokrasi juga berusaha bertahan hidup di tengah perubahan masyarakat. Contoh paling utama dan paling nyata adalah kasus dimana Bolshevik sendiri yang sebenarnya memimpin (dan menghancurkan) revolusi Rusia. Tetapi bagaimanapun juga, kaum Kiri memang selalu tampil sebagai manajer militansi kelas proletar hanya selama terjadinya krisis dalam masyarakat; sementara dalam kesehariannya mereka beraksi tergantung pada peran mereka sebagai sub-boss di tengah masyarakat demi menjaga keutuhan posisinya.

Praktek terbuka grup-grup ekstrimis di Indonesia adalah berupa tentangan terhadap grup di atas mereka dalam sebuah legitimasi politik yang hirarkis. Lantas setiap grup juga akan mengekor grup lainnya yang secara visual memang mulai tampak menjadi “mainstream”. PKI berusaha untuk digantikan oleh PRD. PRD juga berusaha digantikan oleh PDS. Saat seluruh grup Leninis berkomitmen tinggi membentuk forum- forum, diskusi dan debat, juga pendistribusian materi-materi revolusioner, seluruh usaha mereka menjadi berhenti di level yang imbisil sejak mereka melakukan seluruh hal tersebut hanya untuk merekrut kader-kader baru.

Asosiasi-asosiasi yang dibentuk oleh grup-grup radikal, seperti PRD dengan politisi-politisi mainstream sebenarnya jelas sangat memalukan bagi grup itu sendiri. Di saat yang sama, semua elit-elit grup radikal di Indonesia biasanya dapat saling berdampingan erat di sebuah pesta diskusi akademis. Persatuan seluruh grup radikal tersebut lantas jadi sebuah praktek yang menyedihkan, karena ia bukan demi sebuah kesamaan program. Mereka bersatu sebagai sebuah jaringan birokratis yang berusaha menggali lubang bagi diri mereka sendiri.

Rekonstitusi Kaum Kiri

Amnesia massa yang saling dibagi-bagi sesama kaum Kiri, telah memperlihatkan bahwa kaum Kiri sebenarnya bergerak menuju sebuah bentuk baru bagi dirinya sendiri, bentuk yang melayani krisis kapital. Ideologi-ideologi sekarang diciptakan oleh para anarkis, “neoliberalis”, dan dekonstruksionis saat kaum Kiri sekali lagi dalam bentuknya yang baru, merekonstitusi diri untuk mempertahankan sistem dengan tampil sebagai oposisinya. (Apabila rekonstitusi ini adalah sepanci sup, maka kaum Kiri dapat diumpamakan sebagai tepung birokrasi; tambahkan sedikit air untuk membuat sup Stalinis, tambahkan sedikit susu untuk membuat sup Anarkis, dsb.).

Sejak tahun 1917, kaum Kiri telah didominasi oleh ide-ide tentang sistem pemerintahan. Hadirnya Stalinis setelahnya, yang memegang tampuk pimpinan dan menjadikan negara semakin absolut adalah sesuatu yang alamiah, dan menjadikan kelompok tersebut sebagai kelompok paling ideal di antara para birokrat. Birokrasi dapat memperlihatkan “keniscayaan saintifik”nya dalam level yang paling kejam. Partai- partai komunis yang lantas bermunculan dimana-mana, bisa dipahami sebagai hasil dari keniscayaan ini.

Saat ini, bagaimanapun juga, konversi Rusia menjadi kapitalisme gaya Barat telah mengenyahkan dasar bagi dominasi Stalinisme pada kaum Kiri. Dominasi kapitalisme atas dunia telah menjadi semakin jelas, sebagaimana ia juga semakin jauh membawa dunia ke jurang krisis. Dengan pengenyahan dasar bagi dominasi Stalinisme, kaum Kiri harus menemukan trik-trik lain, yang cocok untuk diterapkan pada era pasar bebas sekarang ini. Stalinisme nyatanya tak pernah lenyap, tetapi ia justru memperbanyak diri dalam berbagai bentuknya. Dan anarkisme kini tampil sebagai oposisi paling loyal terhadap Stalinisme, sementara Stalinisme menjadi oposisi paling loyal terhadap pasar bebas.

Profesor linguistik dunia yang terkenal, Noam Chomsky telah menunjukkan pada kita semua tentang bagaimana brand-brand baru yang sebenarnya merupakan sebuah tipuan tetap dibutuhkan oleh kaum Kiri. Walaupun Stalinisme, dalam bentuk nasionalisme Dunia Ketiga, saat ini dilapangkan jalannya oleh kapitalisme untuk negara-negara Dunia Ketiga, yang tak menemukan gandengan ideologisnya pada negara- negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Maka mereka yang memproklamirkan diri sebagai “simpatisan anarkis” jelas dibutuhkan untuk mempertahankan berbagai geng-geng pembebasan nasional Stalinis di seluruh dunia (pro terhadap pemerintahan Saddam Husein, misalnya dalam kasus Perang Irak kemarin). Chomsky sendiri, tetap saja sekedar jadi sebuah bentuk paling advance yang menghadirkan kebenaran parsial, yang melindungi kebohongan menyeluruh dari dunia kapital. Chomsky memang telah mencatat rekor dalam mendokumentasikan setiap kekejaman yang dilakukan oleh pemerintah-pemerintah Barat dan simpatisannya, tapi tak pernah sekalipun ia berspekulasi tentang sebab-sebab dari itu semua selain hanya menyoroti hasilnya, yaitu kebangkrutan moral para intelektual Amerika.

Anarkis-anarkis revolusioner dapat melihat kesempatan untuk menjadi kekuatan yang lebih kuat dengan menarik keuntungan dari kekacauan di tubuh Leninisme dan memperlihatkan “bagaimana Leninisme salah dan anarkisme benar”. Tentu saja, pemahaman mengenai anarkisme seperti itu benar-benar keliru; kaum Kiri Leninis juga tak sepenuhnya salah. Yang perlu dibeberkan adalah melihat dari sudut pandang yang menelanjangi ketertarikan para Leninis yang berada dalam posisi sebagai anggota dari elit yang teredukasi dengan sempurna; jika revolusi berjalan sukses, maka mereka bisa mendapatkan posisi yang lebih tinggi dalam sebuah birokrasi baru, karena partai akan memberikan posisi yang terbaik bagi mereka sebagai pemimpin dalam grup-grup mikro, yang memberikan mereka kekuasaan untuk memuaskan hasrat sadomasokistik mereka.

Tetapi begitupun anarkisme, ia justru menyalahpahami dirinya sendiri. Para anarkis mestinya sadar bahwa mereka tak memiliki lagi kemampuan untuk membentuk lagi sebuah tipe organisasi berbasis massa yang pernah eksis di Spanyol, Rusia dan Italia. Alasannya bukanlah pada penghianatan yang dilakukan secara ideologis oleh para anarkis sendiri (anarkis-anarkis Spanyol tersebut bergabung dengan pemerintahan Republikan Spanyol), melainkan karena tipuan-tipuan dan imaji yang ironisnya justru diadaptasi oleh mereka yang mengklaim dirinya anarkis. Di Indonesia misalnya, anarkisme tidaklah menjadi subsektor dari gerakan proletariat, ia hanya menjadi subsektor dari kaum Kiri yang terpinggirkan sehingga hanya mendapatkan tempatnya di tengah kultur punk rock yang tak berbahaya sama sekali.
Semenjak ia tak menemukan tempatnya di tengah-tengah kaum Kiri, ia tak dapat menahan kooptasi ideologi Kiri atau bahkan ia juga dapat digunakan demi kepentingan kaum reformis, dengan isu-isu yang juga reformis tentu saja. (Perhatikan bagaimana Food Not Bombs menjadi populer di beberapa kota di Indonesia, tetapi hadir dengan konsep amal yang reformis, ia tidak hadir sebagai sebuah gerakan konsolidasi komunitas yang baru). Saat para anarkis berpikir bahwa mereka telah melakukan sesuatu yang berarti, mereka justru terus bergerak menuju ideologi Kiri yang generik, bukannya menuju anarkisme. Anarkisme mainstream misalnya, ia telah mencapai titik dimana teori-teori revolusioner biasanya tereduksi menjadi sekedar pertanyaan moralis, pertanyaan yang tak perlu dasar pemikiran apapun selain hanya sekedar diperlukan perilaku pengorbanan diri dari para pemuda-pemudi kelas menengah.

Anarkisme di Indonesia semakin diperlukan oleh kaum Kiri, untuk menanggulangi semakin lemahnya peran mereka sendiri sebagai pelindung sistem kapitalisme. Sebagaimana kelas birokratis melemah, ia tak dapat lagi melindungi diri dengan menggunakan sains ataupun mitos modernitas, kini ia harus menggunakan moralitas, menghembuskan nafas-nafas religius. Perhatikan saja bagaimana kini kepentingan negara selalu diproteksi dengan isu-isu religius, dan bahkan juga oleh pemuka-pemuka agama itu sendiri.
Apa yang sebenarnya kita lihat saat ini sebenarnya bukanlah meningkat dan makin menyebarnya anarkisme, melainkan semakin memuncaknya transformasi kelas birokratis. Isu moral jelas melayani tujuan yang sama saat kekuasaan sains mulai kehilangan taringnya. Anarkisme dapat melayani kaum Kiri, tetapi hanya saat ia sendiri dihancurkan berkeping-keping terlebih dahulu sebelum ia memperbolehkan para intelektual Kiri mengambil alih eksistensi di dalamnya. Maka tak heran saat nyaris seluruh grup-grup anarkis di Indonesia (yang jumlahnya juga sangat sedikit) menjadi tak lebih dari sekedar boneka kaum Kiri.

Sekarang, kemungkinan bagi terjadinya revolusi Leninis di negara Dunia Pertama tampaknya sangat tak mungkin, maka target utama bagi para intelektual Kiri adalah dengan memposisikan diri untuk melindungi “revolusi-revolusi” negara Dunia Ketiga (dimana birokrat lokal mengambil alih kekuasaan dari despot-despot kekuasaan Amerika Serikat dan kroninya). Ini semua adalah tentang bagaimana ketertarikan kelas dipersatukan, dari Indonesia hingga Afghanistan dan Irak, para birokrat Dunia Ketiga adalah bagian dari kelas “manajerial” borjuis kecil yang sama. Sekali lagi, apa baiknya pemerintahan Taliban dan Saddam dibandingkan dengan negara kapitalis Barat, selain bahwa hanya karena mereka mengusung sentimen religius.

Moralisme adalah retorika yang memberi kesempatan bagi anarkisme untuk merekrut mahasiswa- mahasiswi yang emosional dan kehilangan arah (arti dari kehilangan arah disini tidak dimaksudkan sebagai sebuah hinaan, tetapi sebagai sebuah kata ganti yang lebih sopan daripada membeberkan langsung tentang bagaimana mahasiswa sebenarnya adalah grup inisiasi bagi keterlibatannya di kemudian hari di dunia kapitalisme), “Sejak revolusi tak ada lagi, kita harus mulai melakukan sesuatu untuk mengimprovisasikan dunia sekeliling kita!” (dengan mendukung grup-grup religius kampus atau isu-isu yang dibawa Aa’ Gym misalnya, yang mereka kalkulasikan jelas lebih baik daripada kapitalisme. Ha!).

Anarkisme menggantikan sisi saintifik Marxis-Leninisme dengan sebuah agnostikisme yang lengkap tentang hasil dari setiap aksi yang telah dilakukan. Dari para penggemar Noam Chomsky hingga aksi pasifis kaum Kiri, semua isu-isu moral membantu para intelektual Kiri mendapatkan kemungkinan untuk menjadi dominan, melalui visi metafisik tentang apa yang benar dan apa yang salah. Melalui grup-grup kecil anarkis, spiritualitas dibiarkan mendominasi agitasi mereka, yang sebenarnya menenangkan hasil opresi kelas birokrat. Unjung-ujungnya, mereka akan tampil sebagai aksi-aksi reformis dalam konteks bahwa “itulah yang paling radikal yang bisa dilakukan saat ini.”

Kebingungan Filsafat

Beberapa shift telah berjalan hingga saat ini, dengan cara rekuperasi hasrat perubahan yang satu kepada yang lainnya, dari romantisme hingga Leninisme hingga pasifis yang lekas berpuas diri seperti para vegetarian, kaum Luddit yang anti teknologi. Kaum Kiri yang telah berekonstitusi tersebut perlu untuk mengurangi segala bentuk pertanyaan pada satu bentuk pertanyaan saja: “sekarang apa yang bisa kita lakukan untuk membuat sesuatu menjadi lebih baik.” Kalau kamu bertanya siapakah “kita” yang dimaksud disitu, tentang apa yang dimaksud dengan “menjadi lebih baik”, mengapa hanya berpikir tentang terminologi “sekarang” saja, maka bukannya mendapatkan jawaban, malah kamu akan mendapat sebuah represi (dalam level psikologis ataupun organisasional).

Sebagaimana kaum Kiri telah bergerak untuk mendapatkan pengakuan dengan menggunakan moralitas, bukannya sains seperti dulu, gerakan filsafat dan seni telah menciptakan ideologi tentang kebingungan yang melengkapi dirinya. Dengan meningkatkan teror di tengah intelejensia, elemen-elemen yang paling membingungkannya dapat berakibat bergabungnya kembali kekuatan-kekuatan dalam level paling dasar: level moral.
Radikal-radikal yang paling pintar sekarang ini berusaha untuk menemukan dasar filsafat bagi praktek radikalnya yang tak koheren. Satu kandidat yang paling jelas untuk membenarkan pendapat ini adalah “gerakan dekonstruksionis”. Bentuk dekonstruksi dapat dimengerti dengan melihat kegagalan organisasi Situationist International (SI) di tahun 1960-an.

Sebagaimana serikat-serikat pekerja dewasa ini merepresentasikan aura militansi saat mereka di masa lampau telah bertanggung jawab atas penggagalan pemogokan sporadis dan aksi otonomus para pekerja, gerakan-gerakan filsafat dan artistik dewasa ini juga merepresentasikan radikalitas semu yang disaat yang sama justru menekan setiap kesadaran aksi radikal yang nyata yang telah mengambil tempat dalam melawan rencana-rencana artistik.

Degenerasi kultur dan spectacle bukan lagi menjadi sebuah kisah baru bagi mereka yang tahu betul bagaimana cara memandang sesuatu. Hal tersebut telah menjadi fokus terpenting dalam gerakan artistik yang paling advance, gerakan yang banyak terinspirasi oleh kerja-kerja Situationist International. Kalau tak ada lagi diskusi umum tentang degenerasi ini, ini semua adalah karena ketertarikan di era ini untuk membuat kesimpulan-kesimpulan akhir menjadi bagian penting dari kerja-kerja mereka dan membuatnya tampil dalam visi mereka sehari-hari. Lingkungan pergaulan artistik tersebut tak dapat lagi melakukan hal ini karena kegagalan gejolak yang muncul di era 1960-an.
Metoda yang digunakan oleh SI mencakup sebuah kehendak untuk menyerang, untuk memperlihatkan kesegaran dalam kajian akademis yang membosankan. “Untuk membawa kekerasan para penjahat ke tataran ide.” SI telah mengetahui bahwa metoda ini dapat bergerak baik melampaui kontrol manapun yang paling lihai saat ini atau membuatnya menjadi sekedar dunia ide yang jelas-jelas spektakular.

Secara alamiah, dekonstruksi memiliki kecenderungan yang telah bergerak semakin jauh ke tataran spektakular. Ada banyak yang akan melontarkan argumen melawan kecenderungan ini, tetapi itu hanya akan mereka lakukan sampai segala kemungkinan yang mereka lihat tersebut menjadi begitu melelahkan. Masalah yang kita miliki saat ini adalah adanya dominasi mereka yang ahli–metoda terkuat yang memang digunakan oleh penguasa saat ini untuk membuat masyarakat tetap berada di bawah kontrol–ditunjang dengan sejumlah besar informasi yang terspesialisasi, yang diproduksi oleh masyarakat kita (industri kata-kata memproduksi kata-kata lebih banyak dari kemampuan seseorang untuk membaca, bahkan apabila seseorang membaca terus menerus selama 24 jam sehari). Dalam situasi ini, sejumlah kecenderungan yang tidak koheren dapat membentengi posisi mereka hanya dengan sekedar membuat teks- teks yang semakin sulit untuk dipahami.

Dekonstruksi dan postmodernisme adalah sebuah produk dari yang cukup baru, yang mengambil keuntungan dari keadaan yang kacau balau dewasa ini. Posisinya sendiri sebagai sesuatu yang paling baru, paling radikal dan menampilkan pemikiran yang nyata, telah berakhir. Dekonstruksi hanya membiarkan dirinya untuk dimengerti dalam terminologinya sendiri. Ia juga meraup kritikusnya, dengan melabeli mereka sebagai seorang dekonstruksionis. Dalam “Against Deconstruction” dideskripsikan bagaimana gramatologi Derrida bermula dengan pernyataan yang tegas tentang lebih pentingnya bahasa tertulis daripada bahasa oral. Pernyataan ini tidak hanya absurd baik dalam terminologi historis maupun dalam terminologi pemenuhan ekspresi, dua terminologi yang dianggap tak penting dalam sebagian besar argumen Derrida. Pernyataan tersebut juga sebagian besar malah melembutkan pembacanya. Ia mengetahui betul bahwa akan ada sebuah seri pernyataan-pernyataan lain yang mengikutinya, ia juga menandai hal ini bukan sebagai konsekwensi logis, melainkan lebih sebagai teater radikalisme. Pernyataan-pernyataan lain susulan tersebut juga dibuat dengan penghapusan oposisi, sama dengan yang diangkat oleh pernyataan awal Derrida.
Dekonstruksi memfokuskan diri pada pembentukan lumpur yang semakin pekat dan dalam. Maka karenanya kami merasa perlu untuk membuat sebuah serangan “yang tidak adil” terhadap gerakan-gerakan yang memusingkan tersebut.

Sebagaimana kapital telah menjadi stagnan dalam kurun sepuluh tahun terakhir ini, metoda rekuperasi belumlah berhasil memanajemeni pertumbuhan stok-stok baru yang inovatif untuk dilemparkan ke pasar sehingga ia hanya mengulang-ulang produk lama dengan label “retro”; para pembicara yang paling vokal dari gerakan radikal yang samar-samar ini (dekonstruksionisme), membelokkan spectacle yang tak beregenerasi ini pada bentuk degenerasi sebagai sebuah spectacle. Tapi ia hanya dapat merekuperasi ide-ide yang paling mudah dibabat, membangun skeptisisme yang buntu ke dalam kebuntuan filsafat dan pada akhirnya juga pada sebuah kebuntuan radikalisme. Fakta bahwa bahasa filsafat menjadi tak berarti bagi para pemikir dewasa ini, ia hanya sekedar menjadi sebuah seri pemikiran yang tak pernah kemana-mana selain hanya sekedar menjadi teks.

Maka tak heran apabila lantas Baudrillard, bersama-sama seluruh gerombolan “gerakan dekonstruksionis” hadir sebagai sebuah respon bagi radikalitas yang paling aktual dewasa ini, yang direpresentasikan oleh organisasi SI pada pertengahan abad lalu. Hal tersebut telah dikemukakan oleh SI sendiri, yang menyatakan bahwa tak seluruh batas-batas masyarakat saat ini telah terkuasai oleh sistem, ide masih dapat menjadi sebuah ancaman bagi fondasinya, bahkan juga bagi sektor akademik dari kapital. Masalahnya, para akademisi sadar akan hal ini dan untuk melawan ini semua, mereka merasa bahwa ada sebuah kebutuhan untuk menciptakan sebuah jenis radikalitas yang abstrak, yang berlomba melawan radikalitas yang eksis secara eksplisit saat ini. Hegel, Marx dan Nietzsche adalah filsuf-filsuf yang paling banyak dimanfaatkan untuk kepentingan ini.

Dengan mengkonversi Marx, Baudrillard dapat kembali pada filsafat Hegel; segala sesuatu yang eksis adalah apa yang dapat dijustifikasi oleh aksi yang juga filosofis. Saat ekonomi pasar terbukti harus dilenyapkan, Baudrillard tak melakukan apapun selain hanya menjual buku-buku yang cocok dibaca di kafe- kafe saat sore datang menjelang.

Bagian terpenting yang perlu juga diperhatikan dari gerakan tersebut adalah bahwa ia tak dapat secara langsung merekuperasi SI sebagaimana para akademisi Marxis merekuperasi ide-ide Marx, membiarkan berlangsungnya “Marxisme untuk semua orang” yang melenyapkan kontradiksi yang menjadi poin penting dari filsafat Marx. SI masih terlalu berbahaya karena secara eksplisit ia menerangkan tentang metoda praksisnya. Pencarian Baudrillard tentang sebuah “ekonomi politik dari sistem tanda” sebenarnya tak lebih dari sebuah usaha untuk mengaburkan usaha Debord yang menerangkan tentang Masyarakat Dunia Tontonan, mengkonversinya menjadi sebuah Dunia Tontonan tanpa aplikasi masyarakat. Kapitalisme bahkan selanjutnya juga menciptakan sebuah “situationisme” yang samar. Jikalau “seluruh konsepsi tentang strategi kelas dipahami sebagai kepemilikan material dan produk kultural”, maka ini semua berbicara tentang strategi kapitalisme. Telah diketahui banyak orang, bagaimana Baudrillard memfokuskan diri untuk melarikan sudut pandang Marx dari paradigma Marxis. Baudrillard mengembangkan sebuah cara untuk menyalahkan “pencipta” kalian atas penderitaan yang kalian alami, sebagaimana menyalahkan Marx atas Marxisme.

Mengutip kalimat-kalimat Nietzsche tentang bagaimana ia begitu mencintai kaum radikal, jika semasa Nietzsche hidup “dunia telah menjadi terlalu sempit” sehingga sebuah free-spirit “harus memasuki rumah filosofis”, saat ini rumah filosofis telah terlalu sempit bagi sebuah free-spirit bahkan untuk sekedar dapat dimasuki.

Aksi-aksi radikal kaum post-strukturalis, dekonstruksionis dan postmodernis hanya akan menjadi radikal apabila dunia memang tak diikutsertakan. Wawasan filsafat telah berulang kali dikerjakan dengan sebuah kepintaran yang tolol sehingga ia tak pernah lepas dari hanya sekedar wawasan berfilsafat. Para poststrukturalis telah menyerahkan diri mereka saat mereka dengan lantang mengklaim bahwa mereka telah menciptakan “sebuah teori baru yang fundamental.”

Berlaku bak selebritis, para filsuf itu menghadapi nihilisme ironis yang juga dihadapi oleh seniman modern atau musisi rock yang mengadopsi sebuah perilaku yang tak berbeda kepada keseluruhan dunia industri kultural, saat mereka memposisikan diri mereka agar tampil sebagai bagian yang paling advance. (Bagi para filsuf, industri kulturalnya adalah universitas yang dapat memproduksi intelektual-intelektual baru yang mengkonsumsi teori-teori “radikal” mereka).

Bintang-bintang abad baru telah lebih dapat memaafkan diri mereka sendiri dibandingkang bintang-bintang abad lampau yang berpura-pura inosens atas apa yang mereka lakukan, dan mereka semua menyatakan bahwa dunia lama telah terlalu sulit untuk ditransformasikan, sehingga tak ada cara lain untuk hidup selain meleburkan diri ke dalamnya.

 

Sebuah adaptasi dari zine “Nihilis Issue 1.0″

Publikasi ini ditulis oleh Jalu

Kiri Tidak Pernah Belajar Apapun !

Saya mengapresiasi pergerakan kaum kiri seperti Perjuangan hak hak buruh, Reforma Agraria, tetapi hanya sebatas simpatisan dan tidak pada barisan yang sama dengan mereka selain hanya untuk bersolidaritas, menciptakan ruang lebih luas untuk meruntuhkan dampak buruk yang disebabkan oleh negara dan kapitalis.

Saya tidak senaif itu untuk sepenuhnya menolak organ organ kiri (kolektifis), semuanya hanya sebatas perkawanan insureksi. Tetapi saya juga tidak sepenuhnya setuju dengan mereka, dimana mereka membatasi ruang bagi individu untuk berkembang dengan embel embel mementingkan kepentingan bersama di atas kepentingan individu, tetapi yang perlu ditekankan disini adalah kepedulian kolektif itu sendiri dengan kawan kawan  dalam kolektif itu sendiri, selama ini kolektifis hanya peduli terhadap pandangan politik kawan, tanpa memerhatikan kondisi dari individu itu sendiri. Lalu apa beda mereka dengan kaum kaum kapitalis yang hanya peduli dengan politik mereka sendiri tanpa memerhatikan kondisi masyarakat mereka. Organ organ kiri selalu gagal dalam menjaga kawannya sendiri, karena mereka egois dengan lebih menjaga kawan yang lebih maju dan lupa untuk saling memajukan antar kawan. Selama ini organ kiri masih tidak bisa terlepas dengan penokohan maupun partai partai politik, mereka tidak pernah belajar dari masa lalu.

Menurut saya paham kiri adalah paham yang sudah sangat usang, karena selama ini pergerakan kiri tidak pernah menghasilkan apapun selain calon calon penindas baru. Penindasan tidak hanya secara ekonomi, sosial, dan budaya, melainkan pembatasan hak hak individu serta penolakan terhadap individu yang unik adalah tragis!

“Kelompok kecil yang bertemu tanpa dipersatukan jauh lebih kokoh, daripada ilusi massa kolektif, jangan pernah terkontrol oleh orga organ external selain dari diri kita sendiri”

Publikasi ini ditulis oleh Jalu

Komersialisasi Pendidikan dalam Pusaran Ekonomi Padat Pengetahuan

ADA hantu yang bergentayangan di kampus-kampus. Hantu itu bernama “Neoliberalisme”. Ia bersemayam di dalam kepala-kepala birokrasi kampus yang kolot, yang sekadar menjadi perpanjangan tangan dari Status quo yang ada; pada akademisi-akademisi yang hanya menjadi “perkakas” bagi ekspansi modal; sampai pada tingkat pemerintahan yang membuat kebijakan dengan menghamba pada kapital. Akibat dari hantu ini, banyak orang yang harus membayar kuliah dengan harga yang sangat mahal hanya untuk menjadi cadangan buruh murah di pasar tenaga kerja setelah lulus. Ia membangun sekat antara “orang terdidik” dan “tidak terdidik” dengan memotong akses pendidikan yang terjangkau bagi orang-orang miskin. Dan baru-baru ini, ruh “neoliberalisme” termanifestasikan kembali pada kebijakan Kampus Merdeka dan UU Sisdiknas dan UU Dujti No 12/2012 yabg direvisi dalam Omnibus Law.

Pada prinsipnya, neoliberalisme adalah “ideologi” ekonomi-politik yang mengasumsikan bahwa kemajuan sosial akan lebih baik dicapai melalui pasar dan perdagangan bebas. Sebagai sebuah ideologi, negara dikonfigurasi hanya sebagai bingkai institusional yang menjamin keberlangsungan pasar melalui segala struktur aparatus legalnya: dari segi keamanan, polisi dan militer difungsikan untuk mempertahankan hak properti; sampai pada segi pendidikan, universitas direkonstruksi hanya sebagai instrumen pengetahuan bagi kelas yang berkuasa.

Meskipun ideologi neoliberal berjangkar pada “Fundamentalisme Pasar” di mana negara tidak boleh mengintervensi pasar untuk menjamin persaingan terjadi secara bebas, akan tetapi neoliberalisme justru sangat bergantung secara politik pada eksistensi negara untuk menjamin keberlangsungannya. Disinilah paradoks globalisasi dari kapitalisme neoliberal: di satu sisi, ekspansi modal tampak melampaui sekat-sekat negara bahkan menghancurkan batas-batas negara dalam pengertiannya yang konvensional sehingga membentuk anarkisme pasar, namun di saat yang sama, ia justru membutuhkan negara — yang dijalankan oleh kapitalis-birokrat — untuk menjamin keberlangsungannya dengan serangkaian kebijakan yang memihak perusahaan-perusahaan transnasional atau pemodal-pemodal besar untuk berinvestasi.

Pada konteks ini, neoliberalisme berdiri di atas premis bahwa pemerintah memiliki tanggungjawab minimum untuk menjamin kesejahteraan sosial, karena kebijakan sosial melalui subsidi publik dianggap akan mengganggu insentif bisnis untuk berinvestasi. Karena bagi neoliberalisme, tidak ada yang namanya hak publik: setiap hal dan setiap orang adalah komoditas yang dapat dibeli atau diperjualbelikan. Oleh sebab itulah, jika negara memberi subsidi pada pendidikan, kesehatan, dan hak publik lainnya, itu dianggap mengganggu persaingan pasar, karena semua hal tersebut dianggap sebagai komoditas yang seharusnya berada dalam wilayah bisnis. Intervensi negara hanya boleh sejauh itu menguntungkan modal dan pasar, sementara semua yang berkaitan dengan hak publik harus diminimalisir.

Asumsi dasarnya sederhana: jika semakin banyak pemodal besar yang berinvestasi, maka kekayaannya akan mengucur kepada orang yang lebih miskin dengan terbukanya lapangan kerja baru; atau melalui pengeluaran agregat yang dikeluarkan oleh pemodal-pemodal besar ini ke pasar, dan seterusnya. Berikut juga dengan akses pada hak publik seperti pendidikan, jika semuanya dilepaskan ke pasar, maka asumsinya entitas privat akan menjamin kualitas jasanya akibat dari kompetisi yang akan memberi insentif bagi “korporasi” penyelenggara pendidikan — sehingga ia mentransformasikan universitas tak ubahnya sebagai korporasi yang bersaing di pasar pendidikan.

Berangkat dari latar belakang ekonomi-politik inilah, kita akan mencermati bagaimana kebijakan Kampus Merdeka dan/atau UU Dikti №12 Tahun 2012 — yang baru-baru ini direvisi dalam Omnibus Law — sejatinya adalah bagian dari proyek kelas yang berkuasa untuk mengintensifkan komersialisasi, privatisasi, dan liberalisasi pendidikan di Indonesia dalam konteks pembangunan ekonomi padat pengetahuan. Dan secara khusus, kita juga akan memeriksa bagaimana implementasi kebijakan Universitas Udayana yang mengikuti cetak biru pendidikan neoliberal seperti ini melalui pencacahan atas Rencana Strategis Kebijakan Kampus.

Proyek Kelas dalam Kebijakan Ekonomi Padat Pengetahuan di Perguruan Tinggi

Sejak terjadinya Trabsisi Ekonomi Fordisme yang bergantung pada sektor manufaktur ke revolusi teknologi informasi, pengetahuan berada dalam domain yang sangat fundamental dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Pasalnya, posisi pengetahuan dalam konjungtur sosial, ekonomi, dan politik hari ini telah mentransformasikan pembangunan ekonomi yang berbasis produktivitas dan efisiensi ke arah ekonomi yang berbasis barang dan jasa yang bernilai tinggi dan padat pengetahuan.

Hal ini kemudian menempatkan pendidikan tinggi — sebagai penyedia modal manusia — sebagai lini baru investasi dalam kebijakan publik. Di tengah kebutuhan pasar global akan teknologi dan inovasi, maka negara-negara yang bisa mengembangkan ekosistem pengetahuannya sesuai dengan kebutuhan pasar, akan menjadi daya tarik investasi asing. Pada konteks ini, universitas dipandang sebagai pendorong utama dalam ekonomi berbasis pengetahuan, dan sebagai konsekuensinya lembaga pendidikan didorong untuk mengembangkan hubungan dengan industri dan bisnis dalam serangkaian kemitraan usaha baru.

Obsesi atas teknologi dan inovasi ini menjadi semakin masif ketika Klaus Schwab — presiden dari Forum Ekonomi Dunia Davos — mencanangkan tentang Revolusi Industri 4.0” sejak 2015 lalu. Meskipun sebenarnya itu bukanlah wacana baru — ide tentang ini sudah ada sejak 1960 dan memperoleh popularitasnya di tahun 1990 di bawah label New Economy — akan tetapi ia direproduksi kembali secara masif melalui publisitas yang berlebihan dan seringkali tidak informatif dalam merincikan patahan fundamental yang membedakannya dengan revolusi industri sebelumnya terhadap produktivitas ekonomi. Bank Dunia pun dalam laporan perkembangan dunia yang diterbitkannya di tahun 2019 kemarin membahas hal serupa, dan memberikan preskripsi kepada negara-negara berkembang untuk mengurangi peraturan ketenagakerjaan demi menyambut “Revolusi Industri 4.0.” — salah satu pokoknya adalah pemotongan upah buruh.

Terkait hal ini, pemerintahan Jokowi ikut latah mempromosikan Revolusi Industri 4.0., bahkan telah membuat peta jalan Indonesia untuk menghadapi revolusi industri keempat yang disebut “Making Indonesia 4.0.” yang pada intinya memuat kebijakan pengembangan lima sektor manufaktur, yakni makanan dan minuman, elektronik, tekstil dan busana, kimia, dan otomatif — dengan alasan 84% permintaan ekonomi dunia terpusat pada lima sektor tersebut.

Terlepas dari pentingnya utilitas teknologi kecerdasan buatan (AI) yang konon akan menggantikan otak manusia untuk mengambil keputusan bisnis strategis; kerja mesin pabrik yang digantikan oleh Cyber-Physical System; analisis saham yang menggunakan Robo Adviser, dan berbagai teknologi mutakhir lainnya di masa depan, akan tetapi reaksi pemerintahan Indonesia terkait ini sejatinya tidak lebih dari sekadar gestur kosong yang tidak didasari oleh basis ilmiah yang jelas. Pasalnya, di tengah kecanggihan teknologi tersebut, Indonesia sendiri tengah mengalami  deindustrialisasi prematur delama satu dekade terakhiryang ditandai oleh naiknya porsi industri teknologi rendah, yang diiringi dengan Stagnannya nilai tambah dari industri teknologi menengah dan tinggi. Bahkan, faktor produksi Indonesia masih sangat bergantung pada sektor agraris, tanpa mampu mengembangkan industri dasar di dalam negeri. Jika dibahasakan secara lain: kebijakan pemerintahan Jokowi terkait ekonomi padat pengetahuan lebih karena mengikuti tren internasional dengan pengiklanan yang seolah-olah canggih, ketimbang berdasarkan pada dasar ilmiah yang jelas atas situasi material objektif di Indonesia.

Mencermati hal ini menjadi sangat penting, karena kebijakan di sektor pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah sangat bergantung pada konteks ekonomi padat pengetahuan yang tengah berkembang secara global. Ekonomi padat pengetahuan sendiri adalah model pengembangan ekonomi yang menggunakan pengetahuan sebagai kapital utama dalam memproduksi barang dan jasa. Kontras dengan ekonomi agraris yang aktivitas utamanya bergantung pada lahan dan kerja manual; dan ekonomi industrial yang ditandai oleh produksi massal komoditas oleh “pekerja tak terlatih”; ekonomi padat pengetahuan sangat bergantung pada “pekerja terlatih” yang memiliki pengetahuan dan kapasitas berpikir yang dibutuhkan dalam mengoperasionalkan sektor-sektor jasa baru (ekonomi pasca-industri).

Karena wataknya yang bergantung pada pengetahuan, maka output yang dihasilkannya adalah modal manusia (human capital), sementara industri menjadi konsumennya. Pada konteks ini, universitas memiliki peran ganda dalam rantai produksi: di satu sisi, ia menempatkan mahasiswa sebagai konsumen yang membeli pendidikan, sekaligus menghasilkan mahasiswa sebagai produk (komoditas) yang akan dibeli oleh industri-industri baru di pasar tenaga kerja. Dalam hal ini, mahasiswa adalah konsumen sekaligus produk dari “korporasi” perguruan tinggi.

Dalam kerangka sistem pendidikan di Indonesia, pemerintah telah melaksanakan reformasi pendidikan tinggi melalui serangkaian regulasi yang mengatur tentang pendidikan. Jika dirunut secara kronologis, reformasi pendidikan tinggi di Indonesia dimulai dari adanya proses pemberian otonomi pada tujuh institusi pendidikan tinggi negeri di Indoesia sejak munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN), yang pada prinsipnya memberi otonomi penuh kepada perguruan tinggi bukan hanya di aspek akademik tapi juga otonomi non-akademik (dalam mengatur keuangan, dll).

Dari PP 61/1999 tersebut, lahirlah serangkaian Peraturan Pemerintah yang menjadi dasar hukum (Statuta) dari PP BHMN tersebut pada tahun 2000. Berikut juga pada tahun 2003, lahir UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas) yang pada pasal 53 ayat 1 UU tersebut, diperkenalkan terminologi ‘Badan Hukum Pendidikan’. Selanjutnya pada tahun 2009 dikeluarkan UU yang melegalkan otonomi tersebut, yaitu UU Nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP), meskipun kemudian UU BHP ini dianulir karena dianggap mengkomersilkan pendidikan dan bertentangan dengan prinsip pendidikan sebagai hak publik. Namun sejak tahun 2012, pemerintah secara resmi menerbitkan UU №12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) yang mengatur beberapa hal yang telah dibatalkan di UU BHP sebelumnya — terutama tentang konsep Pendidikan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum (PTN-BH).

Konsep PTN-BH ini menjadi problematis, sebab kewenangan otonomi non-akademik dalam pengelolaan keuangan universitas tidak dianggap sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sehingga tidak perlu disetorkan ke kas negara. Otonomi yang dimiliki PTN-BH pun begitu luas karena kampus dapat mendirikan berbagai badan usaha dan dapat mengadakan berbagai macam pungutan dari mahasiswanya tanpa perlu persetujuan dari Kementerian Keuangan. Di sisi lain, PTN-BH juga bisa mendapatkan kucuran dana dari APBN dalam bentuk Bantuan Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (BPPTNBH). Dalam bingkai Badan Hukum, pengelolaan kampus dibuat persis sama dengan manajemen bisnis dalam korporasi — atau apa yang disebut sebagai model New Public Management (NPM).

Perlu diketahui, wacana reformasi pendidikan tinggi ini telah dikampanyekan oleh Bank Dunia dan WTO sejak tahun 1994 melalui perjanjian General Agreement on Trade in Services (GATS) yang pada intinya meliberalisasi 12 sektor jasa, salah satunya adalah sektor pendidikan tinggi. Bahkan lahirnya UU Dikti tidak terlepas dari proyek Indonesia dengan Bank Dunia yaitu Indonesia: Managing Higher Education for Relevance and Efficiency (IMHERE). Artinya, kebijakan pendidikan yang ada di Indonesia tidak terlepas dari kepentingan lembaga finansial internasional untuk menginjeksikan logika pasar bebas dan melepaskan tanggungjawab negara terhadap pendidikan.

Kebijakan Kampus Merdeka yang dicanangkan oleh Nadiem Makarim pun masih bertautan dengan hal tersebut. Ada empat poin utama dari kebijakan tersebut: pertama, otonomi bagi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Swasta (PTS) untuk melakukan pembukaan atau pendirian program studi (prodi) baru setelah memiliki kerjasama dengan mitra perusahaan, organisasi nirlaba, institusi multilateral atau universitas Top 100 ranking QS dan bukan di bidang kesehatan dan pendidikan; kedua, program reakreditasi yang bersifat otomatis untuk seluruh peringkat dan bersifat sukarela bagi perguruan tinggi dan prodi yang sudah siap naik peringkat; ketiga, kebebasan bagi PTN Badan Layanan Umum (BLU) dan Satuan Kerja (Satker) untuk menjadi PTN Badan Hukum (PTN BH), dan selanjutnya magang sukarela bagi mahasiswa hingga tiga semester.

Jika dicermati, esensi utama dari keseluruhan poin Kampus Merdeka masih berada dalam rute yang sama dari diskursus neoliberal dalam reformasi pendidikan tinggi, yaitu pembiayaan yang efisien dengan mendorong keterlibatan sektor privat dalam kerja samanya; di level manajerial, mendorong percepatan kampus untuk memiliki otonomi penuh sebagai Badan Hukum; sampai di level pekerjaan, perguruan tinggi diharapkan menjadi pemasok tenaga kerja dengan mendorong link and match dengan sektor industri.

Idealnya, universitas memang diharapkan dapat membantu percepatan industrialisasi dalam negeri dengan memasok pekerja yang terdidik di bidangnya dengan industri yang sudah ada. Tetapi masalahnya Indonesia justru tidak memiliki industri yang bisa memasok tenaga kerja tersebut, yang terindikasi dari deindustrialisasi prematur yang telah disebutkan sebelumnya dan penyerapan tenaga kerja yang terus merosot di sektor industri dari tahun ke tahun. Paling mentok, tenaga kerja dari lulusan perguruan tinggi akan terserap di indusri-industri milik perusahaan transnasional yang difasilitasi oleh negara untuk menanam investasinya walaupun dengan mengebiri hak-hak pekerja.

Tidak cukup sampai disitu, perkembangan sektor jasa yang diharapkan dapat menyerap “tenaga kerja terlatih” pun bukanlah sektor jasa yang langsung menopang industrialisasi, melainkan sektor jasa lainnya yang umumnya tidak modern dan berskala kecil, yang terindikasi dari banyaknya serapan pekerja jasa di sektor perdagangan, reparasi motor dan mobil, dan jasa lainnya. Artinya, semua rangkaian kebijakan tersebut, alih-alih membantu pembangunan industri dalam negeri, itu hanya akan membuat mahasiswa menjadi pasokan buruh murah dengan kedok magang ataupun setelah lulus melalui mekanisme pasar tenaga kerja fleksibel.

Selanjutnya, karena universitas diposisikan sebagai bagian pokok dari institusi ekonomi, maka sistem akreditasi dan pemeringkatan menjadi instrumen penting yang diperlukan bagi pasar untuk memberi petunjuk bagi aktor-aktor yang ada di dalamnya: bagi (calon) mahasiswa, pemeringkatan digunakan sebagai gambaran agar ia bisa melakukan investasi (ekonomi) yang tepat dalam menentukan pilihan kampusnya; bagi pemerintah, itu berguna untuk menarik perhatian investor menanamkan modalnya di sektor ekonomi padat pengetahuan; sementara bagi universitas, pemeringkatan berfungsi sebagai iklan, yang kemudian akan mempengaruhi harga jual dari jasa pendidikan yang akan ditawarkannya kepada mahasiswa.

Karena pentingnya instrumen pemeringkatan ini bagi pasar, pada tahun 2015, Kemenristekdikti merilis dokumen berjudul Menjadikan Perguruan Tinggi Indonesia Kelas Dunia yang selanjutnya menentukan bagaimana kebijakan strategis di tingkatan kampus dijalankan dengan berpatok pada hasrat mengejar status World Class University (WCU). Bahkan terciptanya Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT) yang berada dalam koridor neoliberal di Indonesia adalah hasil dari proyek IMHERE dengan Bank Dunia.

Revisi UU Sisdiknas dan UU Dikti dalam Omnibus Law hanya mempertegas cetak biru pembangunan neoliberal di sektor pendidikan dengan melakukan perubahan pada aturan-aturan yang sudah ada sebelumnya, diantaranya: penghapusan pidana pendidikan (pemalsuan ijazah); degelurasi kampus asing bahkan yang tidak terakreditasi di negaranya; dan menghapus kewajiban nirlaba bagi badan hukum pendidikan.

Dari berbagai macam rantai persoalan yang besar ini, di poin selanjutnya kita akan mencermati bagaimana penerapan kebijakan internasionalisasi pendidikan tinggi ini secara spesifik di Universitas Udayana dengan memeriksa Rencana Strategis Kampus; evaluasi pengelolaan keuangan di tahun-tahun sebelumnya, sampai dengan situasi terkini kampus Unud dalam konteks ekonomi padat pengetahuan.

Delusi Universitas Kelas Dunia sebagai Slogan Pemasaran (Marketing)

Mari kita mulai mempersoalkan hal ini dengan mengajukan pertanyaan yang lugas: apa yang sebenarnya dimaksud oleh pemerintah dan birokrasi kampus ketika mereka mengatakan “pendidikan kelas dunia”? Apakah itu merujuk pada model pendidikan kritis yang memiliki tugas membebaskan pemikiran manusia dari keterbelakangan menuju pencerahan? Atau itu hanyalah penanda yang menunjukkan posisi superior dalam hierarki pengetahuan dalam relasinya dengan institusi lainnya? Lalu, apa implikasi Pedagosis dari status kelas dunia, dan siapa yang memiliki kapabilitas dan kuasa untuk mendefinisikan status ini? Selanjutnya, bagaimana status kelas dunia merekonstruksikan lanskap pendidikan tinggi hanya untuk melayani pertumbuhan ekonomi, ketimbang mengembangkan potensi manusia dan membawa perubahan sosial yang progresif? Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, perlu untuk kembali melihat dinamika politik sistem pemeringkatan yang menentukan kebijakan di kampus-kampus saat ini, sebab model pemeringkatan seperti ini tidaklah lahir dari ruang kosong melainkan berkelindan dengan kepentingan lembaga-lembaga internasional yang merumuskan bagaimana seharusnya pendidikan diorientasikan.

Secara historis, sistem pemeringkatan universitas secara global dimulai oleh Universitas Shanghai Jiao Taong di tahun 2003 dengan nama Academic Ranking of World Universities (ARWU). Pada mulanya, pemeringkatan ini hanya untuk membandingkan universitas di Tiongkok dengan universitas-universitas lainnya di dunia dengan menekankan pada reputasi institusional dan performa riset secara kuantitatif.

Ini kemudian memantik negara-negara lain untuk membentuk lembaga pemeringkatannya sendiri dengan metodologinya masing-masing, seperti The Times Higher Education World University Rankings di tahun 2004 yang mengukur reputasi kampus dengan menitikberatkan pada opini internasional dari akademisi dan informasi tentang rasio dosen-mahasiswa. Jutaan dolar diinvestasikan untuk menyusun praktik pemeringkatan ini, hingga menciptakan jaringan dan kekuatan organisasional yang kokoh dan meluas dari universitas sampai media, melalui bisnis dan langsung ke pemerintah nasional dan hampir semua organisasi internasional besar, termasuk Uni Eropa, Komisi Eropa, OECD, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan UNESCO. Bahkan Bank Dunia merilis publikasi terkait ini dengan judul “The Challenge of Establishing World-Class Universities” yang sarat dengan resep neoliberal bagi negara-negara berkembang dalam mereformasi perguruan tingginya.

Dalam dokumennya tentang target menuju status Universitas Kelas Dunia, Indonesia sendiri mengacu pada metodologi yang ditawarkan oleh lembaga QS (Quacquarelly Symonds) dalam mengukur kualitas perguruan tingginya. QS sendiri adalah perusahaan privat yang menyusun peringkatnya dengan metode yang sangat kompleks dengan enam indikator penilaian. Dua indikator dengan bobot tertinggi adalah: (1) telaah sejawat akademisi (academic peer review) dan (2) jumlah sitiran karya ilmiah (citations per faculty). Indikator lainnya, yaitu (3) perbandingan jumlah dosen dan mahasiswa; (4) penilaian reputasi dari para pemberi kerja; (5) rasio jumlah mahasiswa asing dan (6) rasio staf pendidik asing.

Indikator yang disusun oleh QS ini sebenarnya menerima kritik tajam karena rentan dengan bias subjektif dan viabilitas pasar, sehingga hanya kampus terkenal yang memungkinkan untuk masuk ke dalam penilaian akademisi secara internasional. Bukan hanya itu, pemerintah menakar kualitas riset dari kampus hanya dengan penilaian bibliometric (indeks produktivitas dan jumlah sitiran)Berangkat dari hal inilah, kampus kemudian membuat indikator utama capaian kebijakan strategisnya dengan mengacu pada pemodelan QS tersebut.

Universitas Udayana sendiri mengukur sasaran strategis pengembangan lima tahunannya melalui indikator kinerja yang ditetapkan melalui kontrak kerja dengan Kemenristekdikti. Kinerja tersebut diukur dengan membuat sasaran strategis dan Indikator Kinerja Utama (IKU) yang bisa berbeda-beda setiap tahunnya, tergantung pada perkembangan kinerjanya di tahun sebelumnya. Namun secara umum, Unud mengacu pada aspek-aspek fundamental berikut — yang mendukung indikator sasaran program Kemenristekdikti — dalam melakukan penilaian di aspek pendidikan hingga kelembagaannya:

1. Academic Reputation (keaktifan menjadi anggota dalam asosiasi tuan rumah kegiatan internasional, penelitian kolaborasi internasional, dan lain-lain);

2. Employer Reputation (jumlah lulusan yang bekerja di perusahaan multinasional, posisi penting lulusan di dunia internasional, jumlah mahasiswa yang berwirausaha, dan lain-lain);

3. Research and Publication (jumlah publikasi internasional yang memiliki reputasi, jumlah HaKI, jumlah jurnal terindeks Scopus, jumlah sitasi tiap dosen, dan lain-lain);

4. Internationalization (jumlah dosen asing, mahasiswa asing regular, dan lain-lain).

Jika dicermati, kita bisa melihat bahwa metodologi yang menjadi acuan universitas dalam menentukan kebijakannya sangat berat sebelah kepada kebutuhan pasar, namun hal ikhwal tentang keadilan sosial, pendidikan yang transformatif, sampai persoalan politik, filsafat dan sosiologi pendidikan tidak tersentuh sama sekali dalam variabel pengukurannya. Misalnya, menakar riset sebatas dalam koridor tersebut, membuat semakin banyak akademisi terlibat dalam pengajaran dan penelitian yang dapat diukur secara finansial atau simbolis (i.e harus terindeks Scopus, yang merupakan basis data komersial jurnal Elsevier yang dikelola secara privat), serta menguntungkan dalam pasar konsumen yang kompetitif, sementara dampak riset terhadap publik luas menjadi orientasi yang sifatnya tersier dalam kerja produksi kognitif. Begitu juga pada aspek reputasi lulusan, alih-alih berfokus pada kualitas pedagogisnya, itu hanya diukur dari seberapa banyak lulusan yang bekerja di perusahaan ternama.

Tidak cukup sampai disitu, di level manajerial sendiri, meski Unud selalu melaporkan bahwa capaiannya sangat baik — berdasarkan standar-standar “bermasalah” tersebut — namun alokasi anggaran Unud beberapa tahun terakhir cenderung konsumtif (yang terindikasi dari banyaknya realisasi anggaran yang habis di belanja pegawai dan barang), ketimbang produktif berinvestasi di belanja modal (belanja aset, infrastruktur, dsb) — bukan hanya secara persentase realisasi yang kecil, namun juga nominal yang dianggarkan sangat jauh jika dibandingkan dengan item belanja lainnya.

Meskipun untuk mencapai reputasi kelas dunia infrastruktur yang baik menjadi prasyarat utama, akan tetapi dari alokasinya sendiri Unud masih sangat lemah dalam melakukan pembangunan infrastruktur yang merata, walaupun Unud selalu berkilah sedang mengalami kekurangan anggaran. Apa yang tidak disampaikan oleh Unud adalah bagaimana anggaran tersebut diprioritaskan dalam perencanaan pembangunannya. Rinciannya bisa dilihat di tabel berikut:

Image for post

Slogan kelas dunia yang selalu dihasrati oleh semua perguruan tinggi pada akhirnya tidak lebih dari sekadar branding yang hanya akan membuat biaya perkuliahan menjadi semakin mahal, bukan hanya karena standar-standar di dalamnya hanya diperuntukkan untuk pasar, namun juga karena kampus sendiri memiliki kewenangan untuk menarik biaya kuliah yang lebih mahal, walaupun kekurangan anggaran yang mereka keluhkan sebenarnya adalah hasil dari inkompetensinya dalam pengelolaan keuangannya sendiri. Jelas, karena menarik biaya kuliah dari mahasiswa adalah cara yang paling cepat untuk menutupi kebutuhan yang dituntut oleh target-target tersebut, meskipun dengan konsekuensi menutup akses yang lebih luas bagi setiap orang memperoleh pendidikan sebagai hak dasarnya.

Meruntuhkan Menara Gading Universitas sebagai Instrumen Ideologis Kelas yang Berkuasa

Di periode sekarang, liberalisasi pendidikan tinggi telah membuat universitas sibuk mengejar reputasi prestisius melalui label “Kelas Dunia” hanya untuk berkompetisi di pasar pendidikan. Namun, reputasi kelas dunia sejatinya tak lebih dari sebuah “penanda kosong” yang mengeksploitasi fantasi sosial masyarakat — seolah-olah dengan label itu berarti kampus memiliki kualitas yang diperlukan untuk mengembangkan kapasitas berpikir mahasiswanya. Masalahnya, sebagai institusi yang memonopoli dan memproduksi informasi, tentu akan lebih murah bagi perguruan tinggi memoles citranya dengan menjual gimik (kemasan) ketimbang benar-benar memperbaiki kualitasnya. Melalui proses analisis, kita bisa melihat bahwa apa yang ada dibalik label kelas dunia hanyalah birokrasi kolot yang menjalankan bisnis seperti biasanya. Universitas pada akhirnya hanya berfungsi untuk mencetak mahasiswa sesuai dengan citra subjek neoliberal: seorang enterpreneur yang bisa melakukan inovasi bisnis dan teknologi sesuai dengan kebutuhan pasar global.

Dihadapkan pada persoalan semacam itu, filsuf seperti Martha Nussbaum mengajukan sebuah proposal untuk merestorasi kembali ilmu kemanusiaan (humanities) di perguruan tinggi yang mulai digantikan prioritasnya oleh disiplin ilmu vokasional. Sebab, ilmu kemanusiaan dianggap sebagai prasyarat untuk memastikan mahasiswa dapat memiliki keterlibatan politik yang luas, agar mesin demokrasi bisa tetap berjalan dengan baik di tengah fetisisme terhadap pertumbuhan ekonomi yang vulgar.

Terkait hal tersebut, kami tidak berbagi optimisme yang sama, karena meskipun sastra, filsafat, ilmu sosial — yang kontras dengan disiplin ilmu vokasional — masih diajarkan di universitas, bukan berarti itu berkorespondensi dengan terbangunnya infrastruktur berpikir yang diperlukan untuk mengkultivasi pemikiran kritis mahasiswa di dalam struktur ideologi yang dominan hari ini. Pasalnya, rasio praktis dan etika bukan sekadar produk pembelajaran dari buku teks atau ruang kelas, melainkan hasil dari praktik konkret di situasi konkret. Ini perlu dipahami, karena “memiliki pengetahuan” tidak sama dengan “berkompeten dan berintegritas untuk menjalankan pengetahuannya”sebagaimana politisi yang membaca John Rawls, tidak serta-merta memiliki komitmen terhadap keadilan.

Kita semakin baik dalam mengambil pilihan dan keputusan (“domain etik”), bukan karena sekadar memiliki seperangkat pengetahuan teoretis tentang logika atau mengetahui bentuk-bentuk kesesatan berpikir, melainkan karena terlibat langsung dalam proses deliberasi atas keputusan dan pilihan yang diambil. Bahkan sejak era antikuitas, Aristoteles menolak penegasan Sokratik semacam ini di dalam dialog Protagoras: bahwa seseorang memiliki kebajikan (virtue) karena pengetahuannya, dan sebaliknya menjadi buruk karena defisiensi pengetahuan. Ada supremasi praktik yang menjadi faktor komplementer dari teori di sana sebagai prasyarat dari pengetahuan yang baik.

Jelas, kampus yang membuat kebijakannya berlandaskan model bisnis dan mengukur kualitasnya secara mekanis tidak bisa mengkuantifikasi aspek-aspek seperti ini. Akibatnya, agensi deliberatif yang diperlukan sebagai syarat mengembangkan pemikiran kritis telah dibatasi oleh struktur yang ada. Sulit untuk membayangkan mahasiswa ilmu politik yang membaca teks filsafat politik modern akan menjadi ilmuwan politik yang berintegritas, jika kampus mengukur kualitas pembelajaran utamanya dari seberapa banyak mereka mencetak jumlah mahasiswa yang berwirausaha.

Alih-alih menyediakan ruang yang inklusif untuk belajar, kampus lebih mendorong mahasiswa untuk fokus saja pada kegiatan-kegiatan yang menjaga nama baik dan memberi citra positif pada kampus (seperti pernyataan Made Sudarma, Wakil Rektor bidang Kemahasiswaan di Tempo ketika kampus membubarkan diskusi). Bahkan kampus membuat aturan prosedural dan perizinan yang rumit untuk berkegiatan (termasuk membuka ruang diskusi). Kampus seperti mengulangi kembali kebijakan NKK/BKK di periode Soeharto, bahkan birokrasi kampus tidak mempersoalkan ketika aparat masuk ke dalam kampus untuk mengawasi diskusi, bahkan menurut WR III — dalam audiensi yang pernah kita lakukan — hal tersebut tidak masalah jika seandainya itu bisa mengganggu keamanan negara.

Hasilnya, semua teori yang dipelajari di ruang kelas hanya menjadi hafalan, namun akses untuk menempa pemahaman tersebut di dalam praktik konkret menjadi sangat terbatas, karena kampus hanya mengejar target yang telah ditentukan oleh indikator pembelajarannya yang bermasalah. Akibatnyabanyak sekali bakat-bakat brilian yang terbuang sia-sia, yang setelah lulusnya hanya menjadi pekerja rentan yang diupah murah. Mereka yang sedikit memiliki modal sosial, paling banter menjadi anggota DPR, staf presiden, atau yang paling payah adalah akademisi istana — akademisi yang pengetahuannya diabdikan untuk mempertahankan penindasan, persis seperti akademisi Unud yang menjadi bagian dari satgas penyusun draft Omnibus Law yang menyengsarakan rakyat luas.

Disini kita dihadapkan pada beberapa imposibilitas: meskipun kampus dalam hal ini tetap mengajarkan filsafat, sastra, dan ilmu sosial lainnya, namun pengajaran itu hanya akan dilakukan selama disiplin ilmu tersebut dicerabut dari dimensi emansipatorisnya dan hanya difungsikan sebagai “penanda mengambang” yang menyokong proyek ekonomi-politik kelas yang berkuasa. Selanjutnya, karena kedekatan kampus dengan pemerintah dan industri privat, maka peran pendidikan sebagai proyek politis dalam kerja-kerja pembebasan tidak bisa diambil alih oleh perguruan tinggi sebagai sebuah institusi. Lalu, apa yang tersisa dari ini semua? Apa yang harus dilakukan?

Sebelumnya, kita perlu menyadari bahwa neoliberalisme bukan lagi sekadar sebuah teori ekonomi yang partikular, melainkan sebuah weltanshauung yang merekonfigurasi seluruh relasi sosial di masyarakat sampai ke sektor yang paling fundamental seperti pendidikan hanya untuk kebutuhan akumulasi laba. Jika dahulu universitas berperan untuk melakukan diseminasi pengetahuan kepada generasi yang telah dan akan datang, sekaligus melakukan preservasi korpus pengetahuan untuk membebaskan pikiran manusia dari belenggu mitos, di horizon sejarah saat ini pendidikan direduksi lebih jauh lagi hanya sebagai korporasi yang memproduksi tenaga kerja untuk kebutuhan industri.

Ini bukan berarti bahwa mengorientasikan pendidikan untuk tujuan vokasional (industri) adalah sesuatu yang secara inheren keliru, karena tidak bisa dipungkiri bahwa transformasi historis 200 tahun belakangan adalah produk dari kerja-kerja industrial, sains, dan teknologi. Akan tetapi, “kemajuan teknokratik” seperti ini selalu menyisakan residu yang menggilas banyak manusia, yang digambarkan secara jelas oleh aforisme Walter Benjamin: “tak ada dokumen peradaban yang disaat bersamaan bukan dokumen barbarisme”. Karena “kemajuan” yang kita nikmati selalu membutuhkan tumbal manusia, dan di dalam masyarakat kelas, yang menjadi kurban pasti selalu adalah orang-orang yang berada di kelas sosial yang rendah (buruh, petani, dan orang-orang miskin lainnya).

Bukankah dalam setiap ikan laut yang kita santap tidak hanya mengandung protein, namun juga mengandung keringat dan darah para nelayan dan pekerja miskin di geladak-geladak kapal yang diperbudak dengan upah rendah? Bukankah di setiap cangkir kopi yang kita minum juga tersimpan jejak-jejak jari berdarah dan punggung terbakar matahari petani dan pemetik kopi di Aceh, Toraja, dsb? Bahkan gawai bermerek yang kita pakai, di dalamnya ditanam berbagai mineral yang mengandung sekian darah korban manusia dalam eksploitasi penambangannya di Congo, dan sebagainya, dan seterusnya.

Pada konteks inilah mengembangkan pendidikan sebatas dalam paradigma teknokratik justru mengabaikan dimensi keadilan yang luas dalam prosesnya. Kita bukanlah kaum ludite modern yang menolak kemajuan (globalisasi), hanya saja “efek samping” yang dibawa oleh kemajuan ini hanya menguntungkan segelintir kelas: di tataran global, imperialisme membentuk struktur kerja sama internasional yang asimetris dan eksploitatif yang hanya menguntungkan negeri imperialis sebagai makelar dan merugikan negeri-negeri berkembang seperti Indonesia. Jika dahulu kolonialisme dijalankan secara vulgar, hari ini penjajahan berjalan secara tidak langsung melalui mekanisme investasi dan hutang yang harus diikuti dengan berbagai penyesuaian struktural (deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi) — atau yang disebut sebagai kondisi setengah jajahan (semi-kolonial).

Di dalam negeri, Indonesia masih harus menghadapi tantangan untuk mentransformasikan corak ekonominya yang masih sarat dengan faktor produksi agraris, yang juga terhambat karena masih eksisnya tuan tanah besar yang memonopoli tanah dan melakukan proses akumulasi primitif feodal, sehingga memiskinkan banyak sekali petani miskin dan/atau buruh tani di pedesaan yang kemudian menghancurkan potensi sumber daya manusia yang besar. Secara politik, karena gerakan rakyat yang sangat lemah, tidak ada daya tawar yang signifikan dalam mempengaruhi kebijakan secara fundamental dihadapan kapitalis-birokrat (pejabat yang membuat regulasi untuk mempertahankan eksploitasi kelas — eksekutif dari kelas yang berkuasa).

Dari uraian tersebut, kita bisa menarik benang merahnya, bahwa penindasan membutuhkan aparatus reproduksi sosial yang berada di wilayah kultural (domain universitas/pengetahuan) untuk mempertahankan kekuasaannya. Akan tetapi, reproduksi sosial ini tidaklah berdiri sendiri, melainkan berjangkar pada basis material yang konkret (wilayah ekonomi yang telah selalu politis).

Oleh sebab itulah, kampus menjadi arena perjuangan yang penting, sehingga menggalang persatuan di mahasiswa menjadi urgensi yang paling utama dalam skala lokalitas. Akan tetapi, ia tidak boleh terpisah dari arena perjuangan rakyat yang lebih luas (terutama di desa dan pabrik, di mana penindasan terjadi dengan vulgar), karena persoalan yang dihadapi mahasiswa hanyalah satu dari sekian gejala dari masalah yang lebih kompleks yang juga dihadapi oleh rakyat yang lainnya. Pada konteks ini, perangkat analisis menjadi penting, karena persatuan yang serius haruslah persatuan yang didasari oleh prinsip dan program perjuangan yang tepat, baik dalam skala kampus ataupun dalam bentuk perjuangan yang lebih luas.

Disini penting untuk kembali mengulangi slogan mahasiswa di Prancis pada tahun 1968: ” Jadilah realistis, perjuangkan yang tidak mungkin.”

Karena persoalannya, kita berada dalam kontur sejarah di mana membayangkan akhir dunia terasa lebih realistis ketimbang menghancurkan penindasan. Oleh sebab itulah, tanpa keyakinan yang besar tentu saja tidak akan hadir politik yang akbar. Dan politik yang akbar bukan hanya sekadar advokasi namun juga perkara keberanian untuk meruntuhkan menara gading untuk terlibat berjuang bersama dengan rakyat tertindas lainnya.***

Referensi

Harvey, David. 2007. A Brief History of Neoliberalism. Oxford University Press.

Ahmad, Panji M. 2018. Kuliah Kok Mahal?. Yogyakarta: Best Line Press.

Hazelkorn, Ellen. 2011. Rankings and the Reshaping of Higher Education. Palgrave Macmillan.

Ibsen, C. L., & Thelen, K. 2017. “Diverging Solidarity”. World Politics: 69(03), 409–447.

Shattock, M. 2016. “The world class university and international ranking systems: what are the policy implications for governments and institutions?”. Policy Reviews in Higher Education: 1(1), 4–21.

Amsler, S. S., & Bolsmann, C. 2012. “University ranking as social exclusion”. British Journal of Sociology of Education: 33(2), 283–301.

World Bank Group2019. World Development ReportThe Changing Nature of Work. http://documents.worldbank.org/curated/en/816281518818814423/2019-WDR-Report.pdf

Publikasi ini ditulis secara kolaboratif oleh Rangga Justitia L, dan Jalu