“Perkembangan kapitalisme dan seni bagaikan hubungan dua kekasih di mana seorang melakukan ataupun mengatakan sesuatu yang hanya kau kira ingin kau dengar dan kau lakukan, tidak ada alasan untuk membantah atau marah padanya sebab pasanganmu selalu sejalan dengan segala kemauanmu, harusnya kau bahagia namun tetap saja merasa hampa.”
Seni adalah aktivitas manusia untuk menciptakan berbagai produk/artefak rupa, pertunjukan atau pendengaran yang mengekspresikan keahlian teknis, kearifan atau unsur ekstrinsik lain dari perupa itu sendiri agar dapat diapresiasi dan memberikan output estetis atau nilai lainnya. Definisi seni sendiri sudah menjadi polemik yang tidak pernah berhenti sepanjang waktu. Pengertian seni sendiri selalu meninggalkan banyak pertanyaan. Seperti jika seni memberikan output berupa nilai estetis atau hal lain, apakah berarti produk seni itu sendiri bukan yang utama dalam seni ? Jika seni berupa nilai, berarti penilaian masing masing individu akan sangat relative, lalu apakah sah hal yang subjektif tersebut untuk dinilai ataupun dikritik?
Jati Diri Seni
Terdapat banyak jenis klasifikasi dari seni itu sendiri, tapi kali ini saya akan berfokus kepada seni murni, kenapa seni murni? Karena seperti Namanya “murni” seni murni ini memegang nilai kemurnian yang tinggi, berbeda dengan jenis seni yang lainnya. Idealisme seni murni sepenuhnya diciptakan untuk berekspresi dan memberi kesan terhadap konsumen. Seni murni sendiri tidak tidak hanya mengenai bentuknya, melainkan konsep bagaimana suatu karya itu tercipta.
Andy Warhol seniman dari Amerika, mendefinisikan seni murni sebagai seni yang tak memiliki batas artinya bebas, dimana seniman dapat menuangkan idenya sebebas-bebasnya tanpa ada tuntutan eksternal.
Saat Van Gogh melukiskan Starry Night, ia meletakkan langit berbintang versinya pada lukisan fenomenal tersebut. Meskipun komentar orang lain akan rupa langit yang sesungguhnya berbeda, tujuan utama Van Gogh dalam lukisannya bukan untuk mengimitasi langit sesempurna mungkin, melainkan menjadikan langit tersebut sebagai media ekspresi. Personalisasi ini yang membentuk suatu ciri khas dari tiap-tiap seniman.

Kapitalisme, Seni, dan Komersialisi
Dalam sejarah seni, patronage merupakan salah satu hal dominan untuk seniman dalam berkarir di mana mereka bekerja langsung di bawah perlindungan para orang berkuasa seperti bangsawan, kerajaan, maupun gereja. Istilah “patronage” menjadi umum digunakan pada abad ke 16 di Eropa, namun praktiknya sendiri sudah terjadi sebelum masa tersebut di berbagai negara lainnya seperti China. Mereka menjadi pelukis, penyair ataupun pemusik kerajaan dan mendapatkan uang, (dalam beberapa kasus) tempat tinggal, perlindungan dan juga pendidikan dari pihak yang membiayai mereka. Selain itu, seniman mendapatkan uang dari pesanan komisi konsumennya, mereka membuatkan apa yang diinginkan oleh kliennya. Pada konsep ini, nilai jual seniman terletak pada keterampilan dan kemampuan teknis dalam menciptakan karya seni. Dalam kata lain, mereka menjual jasanya. Para seniman tidak dapat lepas dari sistem tersebut karena sarana yang tersedia untuk menunjukkan karyanya pada jangkauan luas di masa itu sangat terbatas. Mereka tidak dapat menjual karyanya kepada tetangga mereka, yang untuk makan saja sulit, sehingga mereka butuh dilihat dan diminati oleh kalangan atas untuk meneruskan karirnya.

Peradaban Eropa mendapati proses komersialisasi seni mengalami ekspansi besar di Antwerp pada abad ke-16 oleh kemunculan pasar seni. Antwerp berhasil mengekspor lukisan, ukiran, buku dan berbagai produk mewah lainnya menuju daerah Baltik hingga Mediterranean Basin pada periode tersebut. Kunci kesuksesan Antwerp terletak pada tradisi artistik yang telah lama berakar di bagian selatan Belanda, juga pergantian metode pemesanan karya berdasarkan komisi menjadi produksi untuk pasar terbuka. Dengan begitu, siapa saja dapat menjual dan siapapun dapat membeli. Berkembangnya pasar seni merupakan hasil dari peningkatan permintaan akan produk mewah. Perkembangan pesat ini menyebabkan peningkatan komoditas karya seni.
Pada lukisan sendiri, komersialisasi berhasil menciptakan diversifikasi akan aliran dan genre sebagai inovasi untuk mendapatkan permintaan baru. Seniman mendapat kebebasan lebih dalam berkarya. Peran vital Antwerp pada alur perdagangan di Eropa ini memperkenalkan teknik komersial kapitalis dalam pemasaran dan pembuatan karya seni.
Komersialisasi menjadi alat apresiasi dan perkembangan seni di dunia. Hal ini tidak hanya terbatas pada karya seni rupa saja, melainkan musik dan juga literatur. Proses komersialisasi berhasil membantu perkembangan dunia seni, mulai dari aliran, jumlah, ataupun jangkauannya. Mengikuti fenomena ini, ketika jenis atau genre komoditas yang tersedia di pasar masih sedikit, maka kapitalisme akan memasuki mode ekstensif, atau tahap awal dalam kapitalisme, di mana produksi dilaksanakan dengan mengembangkan jenis-jenis baru untuk menjangkau permintaan-permintaan baru seluas mungkin. Hal ini terjadi karena sedikitnya barrier to entry ke dalam pasar terbuka sehingga semua orang dapat masuk ke dalam pasar, baik untuk menjual ataupun membeli karya

Seiring waktu, banyaknya variasi di pasar seni menyebabkan mudahnya barang untuk masuk ke pasar sehingga terbentuk segmentasi pasar untuk memudahkan pengelompokan produk dan permintaan. Meskipun sistem ini membuka kesempatan bagi seluruh seniman, namun kapitalisme tetaplah kapitalisme. Ketika memasuki periode komoditas yang variatif, industri dapat melihat pola penjualan, “mana yang lebih menguntungkan?” Di tahap ini, pasar akan masuk ke mode intensif, di mana pasar tidak kuat menanggung seluruh variasi yang ditawarkan oleh seniman. Pada akhirnya terjadi penyisihan karya yang “tidak menguntungkan” bagi pihak perantara.
Jeremy Rifkin, seorang ekonom Amerika, menyatakan kapitalisme mengerucutkan pasar sesuai dengan diminishing consumer base for very specialised products and services. Salah satunya terjadi pada lukisan beraliran romantisme; galeri-galeri yang menerima lukisan romantisme mulai menurun karena idealisme seni yang menyempit di masyarakat. Idealisme ini merupakan konsep di mana seorang seniman memandang dan menggunakan seninya sesuai dengan sugesti dari emosinya, namun tidak semuanya dapat masuk dalam industri seni. Karakteristik kapitalisme ini dijelaskan dalam teori Culture industry, di mana industri memanipulasi selera masyarakat terhadap seni. Yang mana yang seni? Yang mana yang seharusnya saya suka?. Dealer berusaha menyamakan idealisme masyarakat terhadap seni sehingga variasi permintaan semakin menurun dan terpusat pada beberapa aliran saja. Pemusatan produk ini didasari pada dominasi permintaan masyarakat yang ada di pasar. Hal ini mendorong produk menjadi khusus dan langka karena menghadapi permintaan yang tinggi, sehingga menyebabkan meroketnya nilai dan harga dari suatu karya. Sistem ini meletakkan pihak ketiga, dealer, pada posisi utama dalam industri. Meskipun terkesan spektakuler saat seni diberi harga jutaan dolar, pasar justru menjadi semakin eksklusif untuk para seniman. Apakah ini adalah hal yang baik bagi industri seni? Terdapat banyak sudut pandang yang harus dipertimbangkan untuk menentukan baik atau tidaknya, namun secara konsep, karya seni yang dijual sebagai “seni murni” tidak lagi sepenuhnya berdasarkan orisinalitas, ekspresi, maupun kebebasan seniman sendiri, melainkan menyesuaikan karyanya terhadap kriteria pasar yang sudah dimanipulasi menuju suatu “kesamaan”. Pada akhirnya, seni mati dalam permainannya sendiri.
Bagaimana dengan keindahan? Penilaian terhadap estetika bersifat kontroversial dan tidak memiliki indikator yang universal, atau singkatnya keindahan itu subjektif. Saat keindahan tidak menjadi hal utama dalam pemberian harga pada suatu karya seni, kekuasaan pasar seni tidak lagi berada di tangan seniman melainkan di tangan pihak ketiga, mereka yang punya kuasa dalam menentukan arah pasar kedepannya.
Seniman hanya bisa berharap pada pseudo-professionalism dari marketplace, tempat mereka menggantungkan fatamorgana konsumennya untuk bertahan hidup. Kapitalisme mendorong peran dan dominasi pihak perantara dalam industri seni sehingga pada akhirnya meninggalkan seniman kembali berjuang sendirian untuk seninya. Pihak yang tadinya membuka barrier telah menjadi barrier itu sendiri, sebagai ‘moderator’ dan penentu haluan pasar seni.
Industri Seni Zaman Modern

Terdapat perkembangan-perkembangan di dunia, salah satunya dengan hadirnya internet yang menghubungkan semua orang yang dapat mengaksesnya. Meski pengaruh antara pihak ketiga, seperti galeri, label musik, ataupun penerbitan, dengan internet tidak dapat disamakan, namun internet dapat menggantikan mereka secara fungsional. Tujuan awal untuk mempertemukan para seniman dengan calon konsumennya dapat terjadi di internet, tanpa perlu pihak perantara, hanya sarana saja. Marketplace untuk industri seni mulai berkembang meninggalkan gaya ortodoksnya, terutama secara daring. Para penggiat seni dapat menjajakan produknya di banyak tempat, mulai dari media sosial, blog, ataupun platform langganan. Dengan begitu, para seniman punya alur lain yang dapat ditempuh untuk berkarir selain lewat dealer sebagai pihak ketiga.
Internet menyediakan pasar dengan variasi dan segmentasi pasar yang tidak terhingga. Walaupun begitu, tidak dapat dipungkiri bahwa dominasi permintaan terhadap jenis/aliran seni tertentu tetap tercipta. Hal ini terjadi karena kontrol utama pada akhirnya terletak pada masyarakat sendiri. Kembali ke jati diri seniman secara personal, apa ingin mengikuti arus atau mempertahankan idealismenya. Dengan barrier yang rendah, apapun pilihan yang diambil, persaingan tetap terbuka bagi semua orang dan semua permintaan. Semua orang punya kesempatan yang sama untuk menawarkan karya tanpa harus mengorbankan idealismenya untuk masuk ke segmentasi pasar tertentu. Penerapan konsep tersebut merupakan salah satu karakteristik dari kapitalisme yang sempurna itu sendiri. Hal ini menandakan seniman dituntut untuk menyesuaikan diri agar tidak terdominasi oleh pihak lain dalam arena kapitalisme ini. Produk yang gagal dapat diperbaiki, sistem dapat dimanipulasi, jati diri dapat diraih kembali. Sekarang pertanyaannya: bisnis dan seni, siapa yang lebih kuat dalam industri ini?
Publikasi ini ditulis oleh Jalu