Tentang Faksi

Osamu Dazai
1948

Faksi adalah pemerintahan. Dilihat dari keadaannya, pemerintahan tampaknya juga berarti kekuasaan. Kalau begitu, mungkin saja faksi adalah organisasi yang dibentuk dengan tujuan untuk meraih kekuasaan. Lebih dari itu, kekuasaan semacam itu barangkali hanya bisa menemukan harapan di dalam “mayoritas”, pada akhirnya.

Namun, dalam hal pemerintahan, 300 suara tentu lebih mutlak daripada 200 suara, dan seolah berada di bawah pengadilan Tuhan, kemenangan mungkin bisa diraih; tetapi kalau soal sastra, kurasa keadaannya sedikit berbeda.

Kemandirian. Sebuah kata sanjungan yang canggung dan tanpa rasa, yang telah lama digunakan secara berlebihan; jika anda mencoba bertemu dengan orang-orang hebat yang menerima sanjungan seperti ini, anda akan mendapati mereka hanya orang-orang yang menjengkelkan, dan siapa pun akan dengan senang hati melewatkan kesempatan untuk berada di dekat mereka. Rasanya memang ada banyak orang seperti ini. Bahwa orang-orang yang disebut “mandiri” ini membuka mulut lebar-lebar dan dengan liar menyerang “kerumunan” sambil membual tentang “kemandirian” mereka sendiri adalah cerita yang telah lama beredar baik di luar negeri maupun di Jepang, dan dengan melakukan ini, tampaknya mereka juga berusaha menekan rasa nelangsa dalam hati mereka sendiri.

Selalu berhati-hatilah terhadap orang-orang yang menyebut diri mereka “mandiri.” Pertama-tama, itu pretensius. Hampir tanpa kecuali, mereka adalah “orang munafik yang nyaris terbongkar.” Tak pernah ada yang namanya “kemandirian.” Mungkin yang ada hanyalah keterasingan. Tidak, malah rasanya “keterasingan” justru lebih umum terjadi.

Bicara dari posisiku sekarang, aku sangat mendambakan sahabat baik, namun tak seorang pun mau bermain denganku, jadi aku terperangkap dalam kesepian. Yah, sebenarnya itu bohong; aku bisa merasakan penderitaan dari para “anggota faksi” dan secara sengaja memilih “kesepian”, meskipun itu jelas bukan hal yang baik; aku memilih untuk tidak bergaul dengan teman dekat hanya karena kupikir hidupku akan terasa lebih ringan.

Sekali lagi, aku ingin bicara soal “faksi”; bagiku (aku tak peduli bagaimana pendapat orang lain), yang paling menyakitkan adalah tak bisa membicarakan kebodohan anggota-anggotaku sendiri, dan malah harus menanggung beban pahit untuk melontarkan kata-kata pujian kepada mereka. Jika dilihat dari luar, dan maaf aku harus menggeneralisasi seperti ini, mereka tampak terikat oleh sesuatu yang disebut persahabatan; mereka berjalan, berbicara, dan bertepuk tangan bersama dengan gembira, meskipun orang-orang yang paling mereka benci sebenarnya adalah orang-orang di dalam “faksi” mereka sendiri. Sebaliknya, orang-orang yang diam-diam mereka andalkan di dalam hati justru adalah musuh dari “faksi” mereka sendiri.

Tidak ada yang lebih sulit dihadapi daripada orang-orang dalam “faksi” Anda sendiri yang tidak Anda sukai. Saya tahu itu penyebab kesedihan seumur hidup. Bentuk kelompok baru dapat dimulai ketika kawan-kawan secara terbuka mengkhianati satu sama lain.

Persahabatan. Kepercayaan. Aku belum pernah melihat hal-hal semacam itu dalam “faksi.”

Problematika Cinta dalam Pergulatan Diri menurut Kierkegaard

Manusia telah hidup berdampingan dan tidak akan pernah bisa dipisahkan dengan cinta. Manusia telah berdampingan dengan cinta jauh sebelum generasi milenial saat ini menguasai dunia. Manusia saat ini memperoleh cinta hanya sebatas untuk mendapatkan atensi dari khalayak umum dan melupakan substansi dari cinta sejati. Maka dari itu, Maka dari itu, Søren Kierkegaard, filsuf asal Denmark berupaya untuk merumuskan persoalan tersebut dalam kacamata eksistensi manusia. Berangkat dari keinginan untuk memperoleh cinta sejati dalam hidupnya, alasan tersebut tentunya cukup untuk menjadi referensi tentang makna cinta yang telah dilupakan oleh kebanyakan orang.

Sebagai filsuf yang terkenal melankolis, Kierkegaard telah berhasil menciptakan banyak karya dalam pergulatan menjadi manusia yang autentik. Kematian ibu dan saudara-saudaranya menjadi tak terelakan dalam kehidupan Kierkegaard. Tidak hanya itu, kegagalan pernikahannya dengan sang tunangan, Regina Olsen, melengkapi pergulatan hidup Kierkegaard sebagai manusia yang berhak bahagia. Pengalaman tersebut menyebabkan Kierkegaard berusaha penuh untuk menjadi manusia autentik dengan caranya sendiri. Selain itu, penderitaan Kierkegaard banyak dituangkan melalui sejumlah karya termasyhur. Karya Either/Or adalah salah satu hasil refleksi  Kierkegaard atas perpisahannya dengan Regina. Adapun hal tersebut juga tertuang dalam karyanya yang berjudul Fear and Trembling, serta buku-buku lainnya yang hingga sekarang dijadikan sebagai rujukan para filsuf. Selain itu, filsuf yang lahir pada 5 Mei 1813 tersebut, juga telah mendefinisikan sedemikian rupa perihal paham eksistensialisme, dan itulah alasan mengapa Kierkegaard mendapat gelar “Bapak Eksistensialisme”. Kierkegaard berharap dengan memahami eksistensi manusia, manusia akan menghindari perilaku “kepura-puraan dalam kerumunan”. Maksud dari kepura-puraan dalam kerumunan adalah upaya untuk menjalani hidup dalam kepalsuan. Hal ini bukan disebabkan oleh aspek lahiriah dan batiniah individu tersebut, melainkan pengaruh dari orang sekitar. Oleh sebab itu, menurut Kierkegaard, individu menjadi titik fokus untuk menentukan suatu kejadian, dan juga sebagai representasi atas pentingnya subjektivitas dan penderitaan sebagai emosi sentral kehidupan manusia.

Oleh sebab itu, menurut Kierkegaard, individu menjadi titik fokus untuk menentukan suatu kejadian, dan juga sebagai representasi atas pentingnya subjektivitas dan penderitaan sebagai emosi sentral kehidupan manusia.

Untuk memahami jalan hidup Kierkegaard, pembaca perlu memahami rumusan-rumusan eksistensi manusia terlebih dahulu, khususnya dalam karyanya Stages on Life’s Way tahun 1845 tentang tahap eksistensi (spheres of existence) dan keautentikan diri dalam cinta sejati. Sebelum memasuki beberapa pandangan Kierkegaard, sesuatu yang unik darinya adalah dia terbiasa memakai nama samaran dalam karya-karyanya.

 

Tahap Eksistensi

Setiap manusia mempunyai pedoman untuk bertindak dalam kehidupannya. Pedoman tersebut diharapkan dapat menjawab setiap persoalan manusia. Selain itu, manusia berharap pedoman hidupnya tidak hanya bersifat teoretis, melainkan juga bersifat praktis. Berangkat dari itu, Kierkegaard merumuskan tiga tahap eksistensi manusia. Kierkegaard membedakan tahap eksistensinya menjadi tiga, dengan setiap tahap memiliki prinsip hidup yang berbeda.

Pertama adalah tahap estetis. Tahap eksistensi yang tergolong bebas dan hanya mementingkan kepuasan indrawi. Tujuan utama dari tahap estetis adalah mencari kesenangan. Kesenangan yang dimaksud adalah kesenangan yang terjadi hanya dalam jangka waktu yang sementara dan didapatkan secara spontan. Apa yang disenangi itulah yang akan dilakukan. Tidak adanya pertimbangan moral dalam mencapai kesenangan menyebabkan tahap estetis selalu berakhir dengan rasa kecewa, tidak puas, dan bosan. Manusia diharuskan memilih satu dari dua pilihan, yaitu “memperoleh kesenangan secara terus menerus dan berakibat bosan” atau “tidak memperoleh kesenangan dan berakibat kecewa.” Dalam konteks pilihan manusia, Kierkegaard menggambarkan tahap estetis dengan tokoh Don Juan. Don Juan adalah tokoh novel Abad Pertengahan sebagai representasi dari seorang individu yang berpaling dari moral dan kebenaran agama. Don Juan menyumbangkan pengalaman hidup kepada Kierkegaard yang hanya memiliki tujuan hidup sebatas kesenangan dalam hal seksualitas dengan wanita-wanita tanpa memedulikan pertimbangan moralitas. Walaupun dirinya selalu memperoleh hasrat seksual yang diinginkan, Don Juan mengalami kebosanan dalam hidupnya karena kesenangan tersebut bersifat sesaat. Cintanya tidak menyentuh aspek batiniah, melainkan hanya sebatas aspek indrawi. Tahap estetis yang telah digambarkan oleh Don Juan menunjukkan bahwa cinta hanya sebatas objek hinaan, maka dari itu yang tersisa hanyalah cinta kesementaraan. Oleh karena itu, menurut Kierkegaard, cinta tidak membicarakan kesetiaan yang harmonis, melainkan hanya sebagai objek pemuas hasrat sementara dari kedua belah pihak yang berada dalam tahap estetis. Ketika manusia mengalami kebosanan, kekecewaan, atau bahkan kesementaraan dalam hidupnya, manusia akan tertantang untuk memasuki tahap eksistensi yang lebih tinggi.

Kedua adalah tahap etis. Manusia dalam tahap estetis mulai mempertimbangkan untuk memilih sikap baik dan jahat sebagai tindakan eksistensinya. Manusia berkomitmen dan bertanggung jawab atas apa yang telah dipilihnya. Dalam tahap ini, pilihan etis menjadi jalan keluar dari kebingungan atas rasa bosan dan kecewa. Manusia yang berhasil membuat pilihan merasa telah meraih dan menguasai dirinya. Kierkegaard mencontohkan tokoh Sokrates sebagai manusia yang berada di tahap etis. Sokrates berhasil menyingkirkan hasrat yang estetis dalam dirinya demi kebaikan diri dan orang di sekitarnya. Menurut Kierkegaard, cinta dalam tahap etis adalah suatu komitmen untuk menerima dan terbuka terhadap orang lain. Penyelewengan komitmen akan menyebabkan kegagalan dalam moralitas cinta. Komitmen tersebut dapat terlihat dalam hubungan sepasang kekasih yang telah sepakat untuk menikah berdasarkan kesadaran moral tanpa harus menghilangkan cinta di tahap estetis. Jika manusia gagal dalam menguasai dirinya dan mempersilakan orang lain menguasainya, maka manusia tersebut telah dinyatakan tidak eksis dalam tahap etis. Secara umum, tahap etis cukup untuk manusia eksis dalam dunia ini, sebab manusia telah menjadi beretika dan bermanfaat bagi dirinya serta kehidupan sekitarnya. Namun, menurut Kierkegaard, untuk melengkapi eksistensi manusia, diperlukan peran iman atau spiritualitas sebagai kesempurnaan manusia dalam menentukan tindakan.

Ketiga adalah tahap religius. Tahap religius adalah tahap yang paling tinggi dari eksistensi manusia. Bagi Kierkegaard, hanya melalui “lompatan iman” manusia tidak lagi berkomitmen kepada sesamanya, melainkan secara penuh kepada Tuhan. Dalam tahap ini, tujuan manusia bukan untuk dirinya yang bersifat temporal lagi, melainkan pencapaian terhadap kebahagiaan abadi dalam hubungannya bersama Tuhan. Kierkegaard memberi contoh pada tahap religius dengan menceritakan kisah Abraham tentang kepasrahan yang total kepada Tuhan. Dalam cerita Abraham yang mengorbankan anaknya, Kierkegaard membuktikan bahwa kepercayaan memberikan segala hal yang dia butuhkan untuk memperoleh kebahagiaan abadi. Dalam tahap religius, cinta mendapatkan tempat yang tertinggi, sebab manusia tidak lagi berusaha mencari cinta untuk manusia, tetapi memperolehnya dari Tuhan. Pada saat Kierkegaard membatalkan pernikahannya dengan sang tunangan, ia memiliki tujuan untuk mendapatkan cinta sejati dari Tuhan dan tunangannya. Namun, hingga akhir hayatnya, Kierkegaard tidak mendapatkan kembali cinta dari Regina. Walau demikian, Tuhan memberikan hadiah yang lebih kepada Kierkegaard, yaitu cinta dari para pembaca dan penggemar karyanya hingga saat ini. Dengan pasrah dan patuh kepada perintah Tuhan, tanpa memikirkan baik atau jahat dari sudut etis, manusia pada akhirnya memperoleh keinginan yang sulit didapatkan di tahap-tahap sebelumnya, misalnya saja perihal cinta sejati.

Usaha Kierkegaard menjadikan manusia autentik—mendapatkan pemaknaan lebih akan keberadaan diri dan cinta sejati. Kierkegaard dengan semangat melalui karya-karyanya mengundang setiap manusia—khususnya para pembaca karyanya—untuk memberikan suatu kesadaran sebagai manusia autentik dalam kehidupan sehari-hari. Tahapan-tahapan eksistensialis yang ditawarkan Kierkegaard diharapkan menjadi jalan bagi setiap individu untuk lebih percaya diri dengan kemampuannya, tanpa harus berpura-pura di dalam kerumunan. Setiap tahap eksistensi memiliki cara pikir berbeda-beda yang bertujuan untuk memberikan kepuasaan tersendiri bagi setiap individu. Namun perlu ditekankan bahwa, menurut Kierkegaard, semua tahap eksistensi bukan bertujuan untuk mempermudah segala kehidupan seseorang, melainkan mempersulitnya. Tidak ada keharusan bagi setiap manusia dalam perjalanan hidupnya untuk menuju ke tahap-tahap eksistensi tersebut. Di sini terlihat bahwa eksistensi pada manusia autentik memerlukan keberanian untuk melawan segala bentuk, khususnya dalam kepalsuan hidup. Kebanyakan manusia takut untuk bisa hidup tanpa kepura-puraan dan lebih nyaman mengikuti kerumunan. Dengan tahap eksistensi Kierkegaard, manusia diharapkan dapat lebih mengenal dirinya sendiri dan berani untuk eksis secara autentik. Sebagai elaborasi yang terakhir, Kierkegaard mengajak setiap individu untuk bebas secara utuh melalui lompatan hidup religius.

 

Cinta Sejati

Penderitaan yang dialami manusia sering kali tidak terlepas dari proses mencinta. Penderitaan terjadi pada saat manusia melawan ego untuk sesuatu yang dia cintai. Penderitaan dalam cinta adalah bukti ketulusan dari seseorang yang sedang mencinta. Hanya cinta sejati yang dapat menerima penderitaan sebagai proses mencinta. Dalam proses mencinta, manusia menjadi objek utama dalam menentukan tindakan penderitaan tersebut. Hal inilah yang membuktikan bahwa manusia selalu beriringan dengan penderitaan dalam hal proses mencinta. Dengan demikian, cinta yang autentik adalah cinta yang menerima penderitaan dan tidak adanya kepura-puraan dalam diri. Cinta yang autentik pada akhirnya perlu diterima manusia secara lapang dada.

Manusia lahir ke dunia ini untuk memberi dan menerima cinta. Cinta mengajarkan berbagai kualitas unggul kemanusiaan seperti kesabaran, kepasrahan, dan pengorbanan. Dalam karyanya yang berjudul Works of Love, Kierkegaard memberikan penjelasan mengenai “Sepuluh Pokok Cinta Autentik”. Menurut Kierkegaard, cinta yang autentik adalah cinta yang dapat mendidik manusia. Baginya, tujuan mendidik manusia dapat membangun paham dalam hal kebaikan. Kierkegaard menekankan bahwa cinta mengajarkan manusia untuk dapat menahan ego demi orang lain. Selanjutnya, dalam Works of Love, dijelaskan juga bahwa cinta sejati tidak mengharapkan adanya balasan. Secara umum, cinta yang menuntut balasan adalah cinta yang berdasarkan keuntungan dari kedua belah pihak. Cinta seperti itu bukanlah cinta sejati. Maka menurut Kierkegaard, cinta sejati adalah cinta seperti mengenang orang mati, hanya memikirkan yang baik dan yang indah saat mereka hidup. Ketika manusia mengenang orang mati, manusia tersebut tidak akan mencari keuntungan, seperti halnya cinta sejati. Kierkegaard mengibaratkan cinta sebagai suatu rumah yang di dalamnya ada eksistensi dari “Si Pencinta” atau Tuhan. Jika seseorang menjadikan cinta seperti rumah-Nya, maka orang tersebut telah menghadirkan cinta di mana pun dia berada. Cinta sejati tidak dapat hilang, meskipun pernah tergantikan, dan akan selalu mengetahui jalan pulang. Kenyataan dari cinta menetap (love abideth) menurut istilah Kierkegaard adalah sesuatu yang terus mengisi pikiran manusia dengan berbagai cara. Ketika terdapat cinta, manusia menemukan sesuatu yang besar dan tak terbatas. Oleh karena itu, cinta sejati tidak berpihak, setia, dan tidak mencari balasan atau keuntungan kepada sesuatu yang dicintainya.

Ketika terdapat cinta, manusia menemukan sesuatu yang besar dan tak terbatas. Oleh karena itu, cinta sejati tidak berpihak, setia, dan tidak mencari balasan atau keuntungan kepada sesuatu yang dicintainya.

 

Publikasi ini ditulis oleh Jalu

Ketidakbermaknaan hidup Menurut Albert Camus #1

Dalam sebuah novel diceritakan seseorang bernama Mersault. Mersault adalah seseorang yang memiliki sifat melankolis, tidak peduli, serta pasif seperti orang tidak memiliki samangat hidup. Singkatnya sifat mersault ini dicerminkan dari bagaimana dia menjalani hidupnyabzehari hari. Dalam kutipan awal novel tersebut dicontohkan bagaimana ketidakwajaran serta ketidakbermaknaan hidup Mersault, ketika kebanyakan orang akan menangis dan sedih saat mendapatkan kabar jika orang yang dickntainya meninggal, Mersault malah bersifat biasa saja seakan-akan tidak terjadi apa apa. Mersault menyadari bahwa ketika orang yang dicintai ada ataupun tiada kehidupan akan tetap berlangsung, ia akan tetap menjalankan rutinitas seperti biasanya, tidak ada yang akan berubah. Ada kutipan dalam novel tersebut

“bahwa saat ini ibu telah dikuburkan dan bahwa aku akan melanjutkan pekerjaanku”.

Meursault memiliki hobi untuk melihat orang-orang di jalan melalui kaca apartemennya yang sempit. Mersault menganggap bahwa orang orang yang berada di jalan adalah pemain teater dalam suatu pertunjukan, ya ini pertujukan baginya. Meursault mengamati segalanya seperti, orang, binatang, kendaraan, gedung, bahkan suasana dan waktu juga ia amati. Ia menilai sendiri segala karakteristik dari segala substansi yang ia telah amati. Meursault yang telah mengamati realitas yang ada di hadapannya, menilai dirinya sebagai “orang asing” di sana, karena ia tidak menjadi manusia yang mengerjakan kesibukan di jalanan yang ramai (menyatu dengan realitas), ia hanya mengamati jalan dan berpikir tentang mereka yang berada dijalanan maka realitas juga tidak menganggap bahwa Meursault ada di tengah-tengah kehidupan saat itu. Absurditas yang ingin ditunjukkan Albert Camus adalah kesadaran Meursault yang merasa berbeda daripada lingkungannya. Meursault seakan-akan berpikir mengapa masyarakat melakukan rutinitas daripada menuruti suatu rutinitas yang harus dijalankan manusia. Ia satu-satunya yang menolak lingkungan.

 

Publikasi ini ditulis oleh Jalu