I Am the Void That Wills

Aku menolak dunia ini.

Menolak panggung di mana manusia berdiri dengan topeng yang mereka sebut “makna”.

Menolak Tuhan, moral, aturan, dan setiap suara yang berbisik “kau harus begini”.

Aku sudah melihat di balik semuanya. Kosong, rapuh, dan menjijikkan.

Aku tidak percaya pada siapa pun.

Setiap tangan yang mengulurkan kasih membawa rantai di baliknya.

Setiap janji adalah jebakan. Setiap cinta hanya transaksi yang dibungkus kata indah.

Manusia menciptakan kebohongan agar mereka bisa tidur nyenyak dalam delusi bahwa hidup ini berharga.

Aku tidak mencari arti. Tidak ada apa-apa di sana.

Aku berdiri di atas kehancuran dengan dada terbuka. Tertawa pada absurditas yang mengatur semuanya.

Aku tahu semuanya sia-sia. Di sanalah kekuatanku.

Dunia bisa runtuh. Iman bisa hancur. Segala cita-cita bisa terbakar.

Aku akan tetap ada, karena aku tidak dibangun dari janji siapa pun.

Aku bukan milik dunia ini. Aku adalah pusat dari kehampaan itu sendiri.

Aku adalah kehampaan yang berkehendak.

I am the void that wills.

Dari kegelapan tanpa tujuan, aku memutuskan untuk tetap ada. Tidak karena makna, tapi karena kemauan itu sendiri cukup untuk membakar segalanya.

Biarkan dunia menganggapku gila. Hanya orang gila yang masih bisa jujur di tempat seperti ini.

Biarkan mereka berdoa, mencintai, berdebat, dan menilai. Aku sudah selesai dengan semua itu.

Aku tidak ingin menjadi baik, tidak ingin menjadi benar, tidak ingin menjadi bagian dari drama manusia.

Aku hanya ingin menjadi aku. Tanpa arti, tanpa arah, tapi bebas.

Jika semesta menatapku dengan murka, aku akan menatap balik dan tersenyum.

Karena bahkan kehampaan pun kini memiliki kehendak.

Publikasi ini ditulis oleh Jal

Memento Mori, Memento Amoris, dan Hantu di Dalam Cinta

Sebuah pembacaan tentang kehilangan dan kepemilikan diri

Tulisan ini lahir dari renungan tentang dua hal yang tidak bisa dihindari manusia, cinta dan kematian. Keduanya sering kita letakkan di ujung yang berlawanan, seolah cinta adalah kehidupan dan kematian adalah akhir dari segalanya. Padahal keduanya mungkin hanya dua sisi dari hal yang sama. Sama-sama menguji batas, sama-sama menuntut kita untuk menyerahkan sesuatu dari diri sendiri.Dari keduanya, aku belajar tentang arti memiliki, dan tentang bagaimana melepaskan tanpa kehilangan diri. Bahwa hidup bukan soal menolak akhir, melainkan tentang memahami bahwa apa pun yang kita pegang hanya berarti selama kita memilih untuk menggenggamnya.

Cinta dan kematian mengajarkan hal yang sama, tidak ada yang benar-benar kita punya, kecuali diri sendiri yang masih memilih untuk sadar.Maka tulisan ini bukan sekadar perenungan tentang kehilangan, tapi tentang kepemilikan. Tentang bagaimana manusia bisa berdiri di tengah keduanya tanpa tunduk pada salah satunya.

Sebuah catatan dari ruang di mana kehilangan berhenti jadi luka, dan mulai jadi kesadaran.

I. Kematian Cinta dan Kesadaran yang Tersisa

Ketika seseorang pergi, yang mati bukan hanya hubungan, tapi juga sebagian dirimu yang dulu kau ciptakan bersamanya. Kau menatap ruang yang kosong, tapi anehnya, ia masih terasa penuh. Penuh oleh kenangan, oleh harapan yang belum selesai, oleh bisikan yang terus mengulang satu kata, andai saja. Di titik itu cinta berhenti menjadi hidup, tapi belum juga berani mati. Namun dari situ juga lahir kesadaran yang keras kepala bahwa segala yang hidup pasti akan berakhir. Tidak ada janji yang abadi. Tidak ada rasa yang tak berubah. Dan dari kesadaran itu muncul gema lama, memento mori. Ingatlah, engkau akan mati.

Bagi banyak orang, kalimat itu terasa menakutkan. Tapi bagi sebagian lainnya, ia adalah kejujuran yang paling membebaskan. Kematian menelanjangi semua yang pura-pura abadi, termasuk cinta. Dan dari situ aku mulai mengerti bahwa tidak ada apa pun yang pantas dijadikan tuan atas hidupku, bahkan rasa cintaku sendiri.

II. Mengingat Kematian dan Meruntuhkan Segala yang Suci

Dalam tradisi lama, memento mori digunakan untuk menundukkan manusia. Agar kita patuh pada Tuhan, rendah di hadapan hukum, dan takut pada akhir. Padahal kematian seharusnya menjadi pembebas terakhir. Kematian tidak memilih. Tidak menilai. Tidak menyisakan moral. Ia menelan semua yang mengaku lebih tinggi dari manusia, moralitas, agama, bahkan kenangan. Dan justru karena itu, kematian adalah cermin yang paling jujur.

Mengingat kematian bukan berarti menyerah. Sebaliknya, itu berarti menyadari bahwa tak ada satu pun yang lebih berkuasa atas hidup ini selain aku sendiri. Di hadapan kematian, semua nilai kehilangan maknanya. Yang tersisa hanyalah aku yang masih berdiri, memegang kendali atas apa yang kuterima dan kutolak.

III. Mengingat Cinta yang Masih Milikku

Lalu datang memento amoris, pengingat bahwa aku pernah mencinta. Bukan untuk menyalakan kembali yang sudah padam, tapi untuk mengingat bahwa rasa itu pernah hidup di dalam aku, bukan di luar. Cinta bukan anugerah dari semesta. Bukan perintah dari moral. Ia adalah tindakan dari kehendak pribadi. Aku mencintai karena aku ingin. Aku memberi karena aku memilih untuk memberi. Dan ketika cinta berhenti memberiku kehidupan, aku juga berhak untuk berhenti. Selama cinta hidup di dalam keinginanku, ia adalah milikku. Tapi ketika cinta mulai memiliki aku, ketika ia berubah menjadi kewajiban, ketika aku terikat pada kenangan yang tak mau mati, maka cinta itu telah berubah menjadi sesuatu yang lain.

Hantu.

IV. Spook, Hantu yang Hidup di Dalam Rasa

Max Stirner menyebutnya spook, hantu-hantu ide yang hidup di kepala manusia. Segala sesuatu bisa menjadi hantu. Tuhan, moral, kemanusiaan, bahkan cinta. Mereka menuntut kesetiaan padahal tak lagi hidup. Mereka membuat kita tunduk pada sesuatu yang tak nyata, tapi terus kita beri kuasa.

Cinta, lebih dari yang lain, adalah hantu yang paling lembut. Ia datang dalam bentuk kenangan, dalam rasa bersalah, dalam bayangan yang memanggil kita untuk tetap tinggal di masa lalu. Kita menyebutnya kesetiaan, padahal sering kali itu hanya bentuk keterikatan. Kita menyebutnya tulus, padahal yang kita lakukan hanyalah menyembah bayangan seseorang yang tak lagi di sini.

Ketika cinta telah mati tapi aku masih memujanya, aku sedang berbicara pada hantu. Aku memberi nyawa pada sesuatu yang seharusnya sudah tenang. Dan di saat aku berhenti berdoa kepadanya, aku tidak kehilangan apa pun. Aku hanya membebaskan diriku sendiri.

V. Kematian, Cinta, dan Kepemilikan Diri

Baik kematian maupun cinta, pada akhirnya, berbicara tentang kepemilikan. Kematian mengingatkan bahwa tak ada yang bisa kita genggam selamanya. Cinta mengingatkan bahwa makna hanya hidup selama kita menghendakinya. Ketika keduanya bertemu dalam kesadaran penuh, lahirlah kebebasan yang sebenarnya.

Aku bisa mencinta, tapi juga bisa berhenti. Aku bisa hidup, tapi tidak takut mati. Sebab keduanya adalah bagian dariku yang tak bisa direbut.

Memento mori, memento amoris, uterque meus.

Ingatlah kematian, ingatlah cinta, keduanya milikku.

Tidak ada cinta yang suci. Tidak ada kematian yang luhur. Yang ada hanyalah aku, manusia yang mencipta makna sendiri di atas kehancuran segalanya.

VI. Aku dan Hantu yang Kini Diam

Kehilangan hanyalah pengingat bahwa tak ada yang benar-benar kita miliki selain diri sendiri.

Cinta mati, tapi rasa yang tersisa tidak perlu dibuang. Ia bisa dikembalikan ke pemiliknya, kepada aku yang masih hidup. Yang dulu menghantuiku kini menjadi cermin. Aku menatapnya, dan untuk pertama kalinya, aku tidak lagi menunduk. Aku tidak ingin melupakan cinta, aku hanya tidak ingin dimiliki olehnya.

Aku tidak menolak kematian, aku hanya menolak dijadikan kecil olehnya. Aku tidak ingin mengusir hantu, aku hanya ingin berhenti menyembahnya. Dan di titik itu aku benar-benar bebas. Bukan karena aku telah melupakan. Tapi karena aku telah mengakui semuanya dan menjadikannya milikku.

Publikasi ini ditulis oleh Jal

Mencintai Tanpa Kehilangan Diri

Refleksi tentang Stirner, Cinta, dan Kepemilikan Diri

Ada banyak cara orang mendefinisikan cinta. Ada yang menyebutnya sebagai sebuah pertentangan batin, ada pula yang melihatnya sebagai sebuah seni. Meski berbeda, keduanya memiliki kesamaan, cinta hadir sebagai bentuk ekspresi diri yang lahir dari dorongan paling mendasar dan tak tergantikan.

Ketika membicarakan cinta dalam ranah filsafat, nama Friedrich Nietzsche hampir selalu muncul. Ia dikenal dengan ungkapannya yang mengguncang, misalnya Fatum brutum amor fati, yaitu mencintai takdir meskipun keras dan kejam. Melalui gagasan itu, Nietzsche menekankan bagaimana cinta bisa menjadi jalan untuk melampaui penderitaan hidup. Dari sana pula saya belajar menafsirkan dunia dengan sudut pandang yang lebih luas. Salah satu karyanya yang monumental, Zarathustra, kini dapat ditemukan dengan mudah, baik di toko buku bekas maupun dalam bentuk digital di berbagai perpustakaan daring.

Namun kali ini saya ingin menengok cinta dari perspektif lain, yakni Max Stirner. Ia adalah seorang filsuf Jerman yang dikenal dengan gagasan individualisme radikal dan sering dianggap sebagai salah satu pemantik nihilisme.

Melalui buku Max Stirner dan Cinta yang Egois karya Skye Cleary dan rekan-rekannya, saya menemukan sudut pandang menarik tentang cinta yang jarang dibicarakan. Dalam pemahaman ini, cinta tidak hanya dilihat dari sisi romantisme, melainkan juga sebagai relasi yang dipahami lewat ego dan kepemilikan diri.

Stirner memulai pemikirannya dengan meruntuhkan ide pengabdian pada sesuatu yang dianggap lebih tinggi, seperti Tuhan, negara, umat manusia, ataupun tujuan kolektif lainnya. Dari prinsip inilah kita bisa mengajukan pertanyaan, bagaimana cinta bekerja bila dilepaskan dari ikatan kewajiban atau ideal yang berada di luar diri kita? Tulisan ini mencoba menggali implikasi pemikiran tersebut, terutama dalam konteks hubungan cinta yang personal dan romantis.

Antara Kewajiban dan Kebebasan dalam Cinta

Menurut Stirner, ada dua persoalan mendasar dalam cinta romantis. Pertama, cinta kerap dipandang sebagai sesuatu yang harus bebas dari egoisme. Kedua, cinta dalam bentuk romantis sering melahirkan gagasan tentang kewajiban.

Dalam hubungan romantis, biasanya muncul tuntutan untuk saling mencintai selamanya. Dari sini lahirlah berbagai konsekuensi, janji setia, kesediaan berkorban, dan penyerahan diri demi orang lain. Stirner menganggap hal ini sebagai bentuk pengingkaran terhadap diri sendiri. Sebab, mencintai atas dasar kewajiban berarti mengubah cinta dari sesuatu yang hidup menjadi beban yang memperbudak. Kekasih yang seharusnya menjadi sumber kebahagiaan justru berubah menjadi simbol keterikatan. Akhirnya, cinta tidak lagi dipahami dalam hakikatnya, melainkan hanya sebatas gejala obsesif yang menipu. Stirner menolak cinta yang berubah menjadi “hantu” yang menakutkan dan membuat manusia kehilangan kebebasan.

Bagi Stirner, menjadi manusia berarti berani meruntuhkan heroisme semacam itu. Kita seharusnya menetapkan diri sebagai pusat penentu, bukan sekadar tunduk pada moralitas yang menuntut pengorbanan. Ia bahkan mengejek gagasan bahwa cinta sejati harus selalu berarti mengorbankan diri tanpa mendapatkan kebahagiaan pribadi. Menurutnya, pengorbanan yang semata-mata dilakukan untuk memperoleh perhatian hanyalah bentuk penderitaan. Stirner bahkan menyamakannya dengan gejala orang sakit jiwa, sebab pengorbanan tanpa kebahagiaan pribadi membuat seseorang dikuasai oleh delusi.

Sesungguhnya, setiap manusia selalu berada dalam semacam pertempuran batin, kita menegaskan diri, mempertahankan diri, sekaligus mencoba memahami siapa kita. Karena itu, Stirner beranggapan bahwa sebelum benar-benar mengerti makna cinta, seseorang harus lebih dulu belajar untuk berdiri sendiri. Ia menyadari bahwa gagasan ini membuka jurang yang sulit diseberangi oleh konsep romantisme yang menekankan keberlanjutan hubungan antarmanusia. Namun daripada mencintai orang lain tanpa pamrih, Stirner lebih menekankan pentingnya mencintai diri sendiri.

Cinta diri inilah yang menjadi alternatif dari cinta romantis. Hubungan yang bertumpu pada kesenangan diri secara otomatis mendukung konsep mencintai diri sendiri. Bagi Stirner, mencintai diri berarti menghargai keunikan yang dimiliki. Manusia disebut “unik” karena setiap orang berbeda dalam keinginan, tindakan, maupun pengalamannya. Keunikan itu membuat individu mampu menguasai dirinya sendiri dan menolak tunduk pada pihak mana pun. Dalam The Ego and His Own, Stirner menulis, “Bagiku, tidak ada yang lebih daripada diriku sendiri.” Dari sinilah lahir gagasan tentang penguasaan atas diri, baik secara eksternal maupun internal. Artinya, seseorang yang mencintai dirinya tidak boleh dikendalikan oleh nafsu atau emosi belaka.

Dalam bukunya, Stirner mencontohkan seorang pria yang mengejar kekayaan dengan rakus demi kesenangan pribadi. Menurutnya, itu bukanlah bentuk cinta diri, melainkan bentuk perbudakan baru. Orang tamak sebenarnya hanyalah hamba dari satu hasrat yang berkuasa, hantu pemuasan materi. Begitu pula orang yang terobsesi oleh cinta hingga kehilangan akal sehat. Ia bukan sedang mencintai, melainkan sedang diperbudak oleh nafsu.

Penerimaan Diri dan Kebahagiaan Otentik

Mencintai diri sendiri berarti menyadari bahwa setiap orang adalah pencipta bagi dirinya, dan dengan itu ia juga turut membentuk dunianya sendiri serta memengaruhi dunia orang lain. Setelah melewati persoalan cinta romantis, seseorang seharusnya memahami bahwa ia adalah sumber bagi penciptaan dirinya. Namun, “penciptaan” yang dimaksud tidaklah sama dengan penciptaan ilahi. Maksudnya adalah bahwa setiap individu memiliki kebebasan untuk membangun identitas metafisiknya sendiri.

Hal ini terjadi karena eksistensi manusia tidak pernah ditentukan sejak awal. Ia hadir ke dunia sebagai keberadaan yang bebas, lalu membentuk dirinya melalui pilihan, tindakan, dan proyeksi. Dari sinilah Stirner melihat setiap individu sebagai sesuatu yang “unik”.

Dengan kesadaran itu, seseorang bebas menggunakan kreativitasnya untuk menegaskan dirinya sebagai pribadi yang berdaulat. Dalam kerangka ini, seorang “pencinta” akan menjadikan dirinya sendiri sebagai kekasih yang unik, bukan sekadar menunggu pengakuan dari luar.

Aspek lain dari cinta diri adalah penerimaan penuh atas diri sendiri. Stirner menekankan bahwa menerima diri seutuhnya adalah kunci menuju kebahagiaan yang otentik. Pemikiran ini bisa disejajarkan dengan analogi Jean-Paul Sartre, yang menyatakan bahwa tidak ada yang lebih konkret bagi individu selain keberadaannya sendiri. Dengan kata lain, kebahagiaan sejati lahir ketika seseorang mampu berdamai dengan dirinya, mengakui keunikan yang ia miliki, dan menolak untuk menyerahkan kedaulatannya pada orang lain.

Cinta Orang Lain tanpa Kehilangan Diri

Setelah seseorang memahami dirinya, menerima nilai-nilai yang ia miliki, dan menegaskan keunikannya, barulah ia dapat benar-benar beranjak untuk mencintai orang lain. Menurut Stirner, salah satu cara terbaik untuk menemukan nilai diri adalah melalui hubungan dengan orang lain. Pribadi yang mampu mencintai orang lain dengan tulus adalah pribadi yang lebih kaya daripada siapa pun. Mencintai orang lain memberi kebahagiaan, dan itu merupakan hal yang wajar dalam kehidupan manusia.

Stirner menegaskan bahwa ketika seseorang telah terbuka pada dirinya sendiri, maka ia pun membuka kemungkinan untuk mencintai orang lain dengan pengabdian, pengorbanan, dan ketulusan. Menariknya, bentuk cinta seperti ini justru terlihat sangat tradisional. Hal ini menunjukkan bahwa individu yang “unik” pun tetap dapat merasakan cinta dalam bentuk yang sering dikaitkan dengan tradisi. Ia pernah menulis, “Jika aku melihat orang yang kukasihi menderita, aku akan menderita bersamanya, dan aku tidak akan beristirahat sampai aku mencoba segalanya untuk membuatnya nyaman dan merasa terhibur.”

Namun, meskipun Stirner rela mengorbankan nyawa, kebebasan, dan kesejahteraannya demi orang yang ia cintai, ia menegaskan satu hal, ia tidak akan pernah menyerahkan kepemilikan dirinya. Dengan kata lain, ia dapat mengorbankan apa saja, kecuali prinsip dan pilihan yang membuat dirinya tetap unik.

Maka, setelah membaca pemikirannya, saya sampai pada satu artikulasi sederhana tentang cinta, cinta adalah soal memahami. Memahami diri sendiri, lalu memahami orang lain. Tanpa pemahaman, cinta mudah terjebak menjadi gejala obsesif yang justru menyesatkan.

Melihat cinta dari perspektif filsafat memang berbeda dengan melihatnya dari pengalaman sehari-hari. Akan tetapi, justru di situlah letak kekayaannya. Di balik kontroversi pemikirannya, Stirner berhasil memperluas horizon tentang makna cinta. Bersama Nietzsche dan Sartre, ia berdiri sebagai salah satu pemikir yang menafsirkan cinta dengan caranya sendiri. Dan pada akhirnya, kita tetap bebas untuk menentukan makna cinta menurut cara kita masing-masing.

Publikasi ini ditulis oleh Jal

Tentang Faksi

Osamu Dazai
1948

Faksi adalah pemerintahan. Dilihat dari keadaannya, pemerintahan tampaknya juga berarti kekuasaan. Kalau begitu, mungkin saja faksi adalah organisasi yang dibentuk dengan tujuan untuk meraih kekuasaan. Lebih dari itu, kekuasaan semacam itu barangkali hanya bisa menemukan harapan di dalam “mayoritas”, pada akhirnya.

Namun, dalam hal pemerintahan, 300 suara tentu lebih mutlak daripada 200 suara, dan seolah berada di bawah pengadilan Tuhan, kemenangan mungkin bisa diraih; tetapi kalau soal sastra, kurasa keadaannya sedikit berbeda.

Kemandirian. Sebuah kata sanjungan yang canggung dan tanpa rasa, yang telah lama digunakan secara berlebihan; jika anda mencoba bertemu dengan orang-orang hebat yang menerima sanjungan seperti ini, anda akan mendapati mereka hanya orang-orang yang menjengkelkan, dan siapa pun akan dengan senang hati melewatkan kesempatan untuk berada di dekat mereka. Rasanya memang ada banyak orang seperti ini. Bahwa orang-orang yang disebut “mandiri” ini membuka mulut lebar-lebar dan dengan liar menyerang “kerumunan” sambil membual tentang “kemandirian” mereka sendiri adalah cerita yang telah lama beredar baik di luar negeri maupun di Jepang, dan dengan melakukan ini, tampaknya mereka juga berusaha menekan rasa nelangsa dalam hati mereka sendiri.

Selalu berhati-hatilah terhadap orang-orang yang menyebut diri mereka “mandiri.” Pertama-tama, itu pretensius. Hampir tanpa kecuali, mereka adalah “orang munafik yang nyaris terbongkar.” Tak pernah ada yang namanya “kemandirian.” Mungkin yang ada hanyalah keterasingan. Tidak, malah rasanya “keterasingan” justru lebih umum terjadi.

Bicara dari posisiku sekarang, aku sangat mendambakan sahabat baik, namun tak seorang pun mau bermain denganku, jadi aku terperangkap dalam kesepian. Yah, sebenarnya itu bohong; aku bisa merasakan penderitaan dari para “anggota faksi” dan secara sengaja memilih “kesepian”, meskipun itu jelas bukan hal yang baik; aku memilih untuk tidak bergaul dengan teman dekat hanya karena kupikir hidupku akan terasa lebih ringan.

Sekali lagi, aku ingin bicara soal “faksi”; bagiku (aku tak peduli bagaimana pendapat orang lain), yang paling menyakitkan adalah tak bisa membicarakan kebodohan anggota-anggotaku sendiri, dan malah harus menanggung beban pahit untuk melontarkan kata-kata pujian kepada mereka. Jika dilihat dari luar, dan maaf aku harus menggeneralisasi seperti ini, mereka tampak terikat oleh sesuatu yang disebut persahabatan; mereka berjalan, berbicara, dan bertepuk tangan bersama dengan gembira, meskipun orang-orang yang paling mereka benci sebenarnya adalah orang-orang di dalam “faksi” mereka sendiri. Sebaliknya, orang-orang yang diam-diam mereka andalkan di dalam hati justru adalah musuh dari “faksi” mereka sendiri.

Tidak ada yang lebih sulit dihadapi daripada orang-orang dalam “faksi” Anda sendiri yang tidak Anda sukai. Saya tahu itu penyebab kesedihan seumur hidup. Bentuk kelompok baru dapat dimulai ketika kawan-kawan secara terbuka mengkhianati satu sama lain.

Persahabatan. Kepercayaan. Aku belum pernah melihat hal-hal semacam itu dalam “faksi.”

Kita Berhak Rusuh!

“A Riot is the Language of the Unheard”

– Martin Luther King Jr.

Jika kamu merasa terganggu dengan adanya kerusuhan aksi, mungkin kamu perlu bertanya: mengapa hal itu terjadi pada mulanya? Sejarah telah membuktikan bahwa revolusi tidak lahir tanpa perlawanan. Pemerintah jarang mendengarkan protes damai, kecuali ketika suara rakyat sudah tidak bisa lagi diabaikan.

Mereka yang berkuasa sering mengklaim dirinya netral, berpura-pura bertindak demi kepentingan rakyat. Namun, kebijakan yang sebenarnya dibentuk atas dasar kepentingan politik, kekuatan finansial, dan hubungan pribadi (bukan semata-mata demi keadilan atau kesejahteraan rakyay). Bayangan tentang pemerintah yang selalu mengutamakan kepentingan rakyat hanyalah utopis, ada dalam pidato politik, tetapi tidak dalam realitas.

Faktanya, pemerintah justru lebih cepat merespons ketika perlawanan rakyat berlangsung keras dan tak bisa dikendalikan. Ketika aksi demonstrasi berubah menjadi chaos, penguasa dipaksa untuk bertindak. Ironisnya, sejarah telah membuktikan bahwa justru dari kerusuhan dan perlawanan yang besar, lahir perubahan kebijakan yang krusial, perubahan yang mungkin tidak akan pernah terjadi jika rakyat hanya diam dan menerima.

Dari Revolusi Prancis, Kemerdekaan Indonesia, dan gerakan hak sipil lainnya, perubahan selalu datang dengan harga yang mahal. Mudah untuk mengecam kerusuhan sebagai sesuatu yang destruktif, tapi pertanyaannya: siapa yang menciptakan kondisi sehingga rakyat terpaksa bertindak seperti ini? Bukan kaum tertindas yang memilih kekerasan, tetapi sistem yang memaksa mereka melakukannya.

Jika kamu menentang kekacauan tetapi diam terhadap ketidakadilan yang menyebabkannya, maka kamu adalah bagian dari masalah. Revolusi tidak lahir dari kedamaian, tetapi dari penderitaan yang telah lama diabaikan.

Fuck you who claim to be neutral in this situation.

Fuck you who protest against the demonstrators instead of against the oppressors.

Fuck you who refuse to speak up.

Fuck you who remain ignorant while people are suffering.

Fuck you who align yourself with power and repression.

Fuck you who justify state violence.

Fuck you, police!

 

Problematika Cinta dalam Pergulatan Diri menurut Kierkegaard

Manusia telah hidup berdampingan dan tidak akan pernah bisa dipisahkan dengan cinta. Manusia telah berdampingan dengan cinta jauh sebelum generasi milenial saat ini menguasai dunia. Manusia saat ini memperoleh cinta hanya sebatas untuk mendapatkan atensi dari khalayak umum dan melupakan substansi dari cinta sejati. Maka dari itu, Maka dari itu, Søren Kierkegaard, filsuf asal Denmark berupaya untuk merumuskan persoalan tersebut dalam kacamata eksistensi manusia. Berangkat dari keinginan untuk memperoleh cinta sejati dalam hidupnya, alasan tersebut tentunya cukup untuk menjadi referensi tentang makna cinta yang telah dilupakan oleh kebanyakan orang.

Sebagai filsuf yang terkenal melankolis, Kierkegaard telah berhasil menciptakan banyak karya dalam pergulatan menjadi manusia yang autentik. Kematian ibu dan saudara-saudaranya menjadi tak terelakan dalam kehidupan Kierkegaard. Tidak hanya itu, kegagalan pernikahannya dengan sang tunangan, Regina Olsen, melengkapi pergulatan hidup Kierkegaard sebagai manusia yang berhak bahagia. Pengalaman tersebut menyebabkan Kierkegaard berusaha penuh untuk menjadi manusia autentik dengan caranya sendiri. Selain itu, penderitaan Kierkegaard banyak dituangkan melalui sejumlah karya termasyhur. Karya Either/Or adalah salah satu hasil refleksi  Kierkegaard atas perpisahannya dengan Regina. Adapun hal tersebut juga tertuang dalam karyanya yang berjudul Fear and Trembling, serta buku-buku lainnya yang hingga sekarang dijadikan sebagai rujukan para filsuf. Selain itu, filsuf yang lahir pada 5 Mei 1813 tersebut, juga telah mendefinisikan sedemikian rupa perihal paham eksistensialisme, dan itulah alasan mengapa Kierkegaard mendapat gelar “Bapak Eksistensialisme”. Kierkegaard berharap dengan memahami eksistensi manusia, manusia akan menghindari perilaku “kepura-puraan dalam kerumunan”. Maksud dari kepura-puraan dalam kerumunan adalah upaya untuk menjalani hidup dalam kepalsuan. Hal ini bukan disebabkan oleh aspek lahiriah dan batiniah individu tersebut, melainkan pengaruh dari orang sekitar. Oleh sebab itu, menurut Kierkegaard, individu menjadi titik fokus untuk menentukan suatu kejadian, dan juga sebagai representasi atas pentingnya subjektivitas dan penderitaan sebagai emosi sentral kehidupan manusia.

Oleh sebab itu, menurut Kierkegaard, individu menjadi titik fokus untuk menentukan suatu kejadian, dan juga sebagai representasi atas pentingnya subjektivitas dan penderitaan sebagai emosi sentral kehidupan manusia.

Untuk memahami jalan hidup Kierkegaard, pembaca perlu memahami rumusan-rumusan eksistensi manusia terlebih dahulu, khususnya dalam karyanya Stages on Life’s Way tahun 1845 tentang tahap eksistensi (spheres of existence) dan keautentikan diri dalam cinta sejati. Sebelum memasuki beberapa pandangan Kierkegaard, sesuatu yang unik darinya adalah dia terbiasa memakai nama samaran dalam karya-karyanya.

 

Tahap Eksistensi

Setiap manusia mempunyai pedoman untuk bertindak dalam kehidupannya. Pedoman tersebut diharapkan dapat menjawab setiap persoalan manusia. Selain itu, manusia berharap pedoman hidupnya tidak hanya bersifat teoretis, melainkan juga bersifat praktis. Berangkat dari itu, Kierkegaard merumuskan tiga tahap eksistensi manusia. Kierkegaard membedakan tahap eksistensinya menjadi tiga, dengan setiap tahap memiliki prinsip hidup yang berbeda.

Pertama adalah tahap estetis. Tahap eksistensi yang tergolong bebas dan hanya mementingkan kepuasan indrawi. Tujuan utama dari tahap estetis adalah mencari kesenangan. Kesenangan yang dimaksud adalah kesenangan yang terjadi hanya dalam jangka waktu yang sementara dan didapatkan secara spontan. Apa yang disenangi itulah yang akan dilakukan. Tidak adanya pertimbangan moral dalam mencapai kesenangan menyebabkan tahap estetis selalu berakhir dengan rasa kecewa, tidak puas, dan bosan. Manusia diharuskan memilih satu dari dua pilihan, yaitu “memperoleh kesenangan secara terus menerus dan berakibat bosan” atau “tidak memperoleh kesenangan dan berakibat kecewa.” Dalam konteks pilihan manusia, Kierkegaard menggambarkan tahap estetis dengan tokoh Don Juan. Don Juan adalah tokoh novel Abad Pertengahan sebagai representasi dari seorang individu yang berpaling dari moral dan kebenaran agama. Don Juan menyumbangkan pengalaman hidup kepada Kierkegaard yang hanya memiliki tujuan hidup sebatas kesenangan dalam hal seksualitas dengan wanita-wanita tanpa memedulikan pertimbangan moralitas. Walaupun dirinya selalu memperoleh hasrat seksual yang diinginkan, Don Juan mengalami kebosanan dalam hidupnya karena kesenangan tersebut bersifat sesaat. Cintanya tidak menyentuh aspek batiniah, melainkan hanya sebatas aspek indrawi. Tahap estetis yang telah digambarkan oleh Don Juan menunjukkan bahwa cinta hanya sebatas objek hinaan, maka dari itu yang tersisa hanyalah cinta kesementaraan. Oleh karena itu, menurut Kierkegaard, cinta tidak membicarakan kesetiaan yang harmonis, melainkan hanya sebagai objek pemuas hasrat sementara dari kedua belah pihak yang berada dalam tahap estetis. Ketika manusia mengalami kebosanan, kekecewaan, atau bahkan kesementaraan dalam hidupnya, manusia akan tertantang untuk memasuki tahap eksistensi yang lebih tinggi.

Kedua adalah tahap etis. Manusia dalam tahap estetis mulai mempertimbangkan untuk memilih sikap baik dan jahat sebagai tindakan eksistensinya. Manusia berkomitmen dan bertanggung jawab atas apa yang telah dipilihnya. Dalam tahap ini, pilihan etis menjadi jalan keluar dari kebingungan atas rasa bosan dan kecewa. Manusia yang berhasil membuat pilihan merasa telah meraih dan menguasai dirinya. Kierkegaard mencontohkan tokoh Sokrates sebagai manusia yang berada di tahap etis. Sokrates berhasil menyingkirkan hasrat yang estetis dalam dirinya demi kebaikan diri dan orang di sekitarnya. Menurut Kierkegaard, cinta dalam tahap etis adalah suatu komitmen untuk menerima dan terbuka terhadap orang lain. Penyelewengan komitmen akan menyebabkan kegagalan dalam moralitas cinta. Komitmen tersebut dapat terlihat dalam hubungan sepasang kekasih yang telah sepakat untuk menikah berdasarkan kesadaran moral tanpa harus menghilangkan cinta di tahap estetis. Jika manusia gagal dalam menguasai dirinya dan mempersilakan orang lain menguasainya, maka manusia tersebut telah dinyatakan tidak eksis dalam tahap etis. Secara umum, tahap etis cukup untuk manusia eksis dalam dunia ini, sebab manusia telah menjadi beretika dan bermanfaat bagi dirinya serta kehidupan sekitarnya. Namun, menurut Kierkegaard, untuk melengkapi eksistensi manusia, diperlukan peran iman atau spiritualitas sebagai kesempurnaan manusia dalam menentukan tindakan.

Ketiga adalah tahap religius. Tahap religius adalah tahap yang paling tinggi dari eksistensi manusia. Bagi Kierkegaard, hanya melalui “lompatan iman” manusia tidak lagi berkomitmen kepada sesamanya, melainkan secara penuh kepada Tuhan. Dalam tahap ini, tujuan manusia bukan untuk dirinya yang bersifat temporal lagi, melainkan pencapaian terhadap kebahagiaan abadi dalam hubungannya bersama Tuhan. Kierkegaard memberi contoh pada tahap religius dengan menceritakan kisah Abraham tentang kepasrahan yang total kepada Tuhan. Dalam cerita Abraham yang mengorbankan anaknya, Kierkegaard membuktikan bahwa kepercayaan memberikan segala hal yang dia butuhkan untuk memperoleh kebahagiaan abadi. Dalam tahap religius, cinta mendapatkan tempat yang tertinggi, sebab manusia tidak lagi berusaha mencari cinta untuk manusia, tetapi memperolehnya dari Tuhan. Pada saat Kierkegaard membatalkan pernikahannya dengan sang tunangan, ia memiliki tujuan untuk mendapatkan cinta sejati dari Tuhan dan tunangannya. Namun, hingga akhir hayatnya, Kierkegaard tidak mendapatkan kembali cinta dari Regina. Walau demikian, Tuhan memberikan hadiah yang lebih kepada Kierkegaard, yaitu cinta dari para pembaca dan penggemar karyanya hingga saat ini. Dengan pasrah dan patuh kepada perintah Tuhan, tanpa memikirkan baik atau jahat dari sudut etis, manusia pada akhirnya memperoleh keinginan yang sulit didapatkan di tahap-tahap sebelumnya, misalnya saja perihal cinta sejati.

Usaha Kierkegaard menjadikan manusia autentik—mendapatkan pemaknaan lebih akan keberadaan diri dan cinta sejati. Kierkegaard dengan semangat melalui karya-karyanya mengundang setiap manusia—khususnya para pembaca karyanya—untuk memberikan suatu kesadaran sebagai manusia autentik dalam kehidupan sehari-hari. Tahapan-tahapan eksistensialis yang ditawarkan Kierkegaard diharapkan menjadi jalan bagi setiap individu untuk lebih percaya diri dengan kemampuannya, tanpa harus berpura-pura di dalam kerumunan. Setiap tahap eksistensi memiliki cara pikir berbeda-beda yang bertujuan untuk memberikan kepuasaan tersendiri bagi setiap individu. Namun perlu ditekankan bahwa, menurut Kierkegaard, semua tahap eksistensi bukan bertujuan untuk mempermudah segala kehidupan seseorang, melainkan mempersulitnya. Tidak ada keharusan bagi setiap manusia dalam perjalanan hidupnya untuk menuju ke tahap-tahap eksistensi tersebut. Di sini terlihat bahwa eksistensi pada manusia autentik memerlukan keberanian untuk melawan segala bentuk, khususnya dalam kepalsuan hidup. Kebanyakan manusia takut untuk bisa hidup tanpa kepura-puraan dan lebih nyaman mengikuti kerumunan. Dengan tahap eksistensi Kierkegaard, manusia diharapkan dapat lebih mengenal dirinya sendiri dan berani untuk eksis secara autentik. Sebagai elaborasi yang terakhir, Kierkegaard mengajak setiap individu untuk bebas secara utuh melalui lompatan hidup religius.

 

Cinta Sejati

Penderitaan yang dialami manusia sering kali tidak terlepas dari proses mencinta. Penderitaan terjadi pada saat manusia melawan ego untuk sesuatu yang dia cintai. Penderitaan dalam cinta adalah bukti ketulusan dari seseorang yang sedang mencinta. Hanya cinta sejati yang dapat menerima penderitaan sebagai proses mencinta. Dalam proses mencinta, manusia menjadi objek utama dalam menentukan tindakan penderitaan tersebut. Hal inilah yang membuktikan bahwa manusia selalu beriringan dengan penderitaan dalam hal proses mencinta. Dengan demikian, cinta yang autentik adalah cinta yang menerima penderitaan dan tidak adanya kepura-puraan dalam diri. Cinta yang autentik pada akhirnya perlu diterima manusia secara lapang dada.

Manusia lahir ke dunia ini untuk memberi dan menerima cinta. Cinta mengajarkan berbagai kualitas unggul kemanusiaan seperti kesabaran, kepasrahan, dan pengorbanan. Dalam karyanya yang berjudul Works of Love, Kierkegaard memberikan penjelasan mengenai “Sepuluh Pokok Cinta Autentik”. Menurut Kierkegaard, cinta yang autentik adalah cinta yang dapat mendidik manusia. Baginya, tujuan mendidik manusia dapat membangun paham dalam hal kebaikan. Kierkegaard menekankan bahwa cinta mengajarkan manusia untuk dapat menahan ego demi orang lain. Selanjutnya, dalam Works of Love, dijelaskan juga bahwa cinta sejati tidak mengharapkan adanya balasan. Secara umum, cinta yang menuntut balasan adalah cinta yang berdasarkan keuntungan dari kedua belah pihak. Cinta seperti itu bukanlah cinta sejati. Maka menurut Kierkegaard, cinta sejati adalah cinta seperti mengenang orang mati, hanya memikirkan yang baik dan yang indah saat mereka hidup. Ketika manusia mengenang orang mati, manusia tersebut tidak akan mencari keuntungan, seperti halnya cinta sejati. Kierkegaard mengibaratkan cinta sebagai suatu rumah yang di dalamnya ada eksistensi dari “Si Pencinta” atau Tuhan. Jika seseorang menjadikan cinta seperti rumah-Nya, maka orang tersebut telah menghadirkan cinta di mana pun dia berada. Cinta sejati tidak dapat hilang, meskipun pernah tergantikan, dan akan selalu mengetahui jalan pulang. Kenyataan dari cinta menetap (love abideth) menurut istilah Kierkegaard adalah sesuatu yang terus mengisi pikiran manusia dengan berbagai cara. Ketika terdapat cinta, manusia menemukan sesuatu yang besar dan tak terbatas. Oleh karena itu, cinta sejati tidak berpihak, setia, dan tidak mencari balasan atau keuntungan kepada sesuatu yang dicintainya.

Ketika terdapat cinta, manusia menemukan sesuatu yang besar dan tak terbatas. Oleh karena itu, cinta sejati tidak berpihak, setia, dan tidak mencari balasan atau keuntungan kepada sesuatu yang dicintainya.

 

Publikasi ini ditulis oleh Jalu

Ketidakbermaknaan hidup Menurut Albert Camus #1

Dalam sebuah novel diceritakan seseorang bernama Mersault. Mersault adalah seseorang yang memiliki sifat melankolis, tidak peduli, serta pasif seperti orang tidak memiliki samangat hidup. Singkatnya sifat mersault ini dicerminkan dari bagaimana dia menjalani hidupnyabzehari hari. Dalam kutipan awal novel tersebut dicontohkan bagaimana ketidakwajaran serta ketidakbermaknaan hidup Mersault, ketika kebanyakan orang akan menangis dan sedih saat mendapatkan kabar jika orang yang dickntainya meninggal, Mersault malah bersifat biasa saja seakan-akan tidak terjadi apa apa. Mersault menyadari bahwa ketika orang yang dicintai ada ataupun tiada kehidupan akan tetap berlangsung, ia akan tetap menjalankan rutinitas seperti biasanya, tidak ada yang akan berubah. Ada kutipan dalam novel tersebut

“bahwa saat ini ibu telah dikuburkan dan bahwa aku akan melanjutkan pekerjaanku”.

Meursault memiliki hobi untuk melihat orang-orang di jalan melalui kaca apartemennya yang sempit. Mersault menganggap bahwa orang orang yang berada di jalan adalah pemain teater dalam suatu pertunjukan, ya ini pertujukan baginya. Meursault mengamati segalanya seperti, orang, binatang, kendaraan, gedung, bahkan suasana dan waktu juga ia amati. Ia menilai sendiri segala karakteristik dari segala substansi yang ia telah amati. Meursault yang telah mengamati realitas yang ada di hadapannya, menilai dirinya sebagai “orang asing” di sana, karena ia tidak menjadi manusia yang mengerjakan kesibukan di jalanan yang ramai (menyatu dengan realitas), ia hanya mengamati jalan dan berpikir tentang mereka yang berada dijalanan maka realitas juga tidak menganggap bahwa Meursault ada di tengah-tengah kehidupan saat itu. Absurditas yang ingin ditunjukkan Albert Camus adalah kesadaran Meursault yang merasa berbeda daripada lingkungannya. Meursault seakan-akan berpikir mengapa masyarakat melakukan rutinitas daripada menuruti suatu rutinitas yang harus dijalankan manusia. Ia satu-satunya yang menolak lingkungan.

 

Publikasi ini ditulis oleh Jalu

Musuh Dari Musuhku Bukanlah Kawanku

Salah satu ilusi penting dan berbahaya yang beredar di kalangan kaum Kiri adalah berpikir bahwa musuh dari musuhku adalah selalu berarti ia kawanku. Saat mereka yang mengklaim memusuhi kapitalisme telah menempati skala terkecil dari seluruh segmen masyarakat, terlebih lagi di Indonesia, mereka yang menyebut diri mereka radikal itu justru masih menerima dengan tangan terbuka tatanan masyarakat saat ini dalam level ketidaksadarannya. Hal ini hanya menjadikan mereka sebagai oposisi yang tepat dengan definisi dalam masyarakat, sebuah oposisi yang masih berbicara dengan bahasa sistem saat ini.

Apa yang menjadi fokus kami dalam artikel ini adalah kemunculan ideologi anarkis modern di tengah-tengah gerakan Kiri di Indonesia. Anarkisme menurut definisinya akan beroposisi dengan seluruh bentuk pemerintahan dan ini adalah sebuah definisi akhir yang disetujui bersama. Dalam “gerakan anarkis”, banyak individu yang memang berkomitmen penuh, melakukan aktifitasnya demi terciptanya sebuah revolusi proletarian. Kritik kami bukanlah bertujuan untuk mengabaikan niat baik orang-orang tersebut ataupun memperlihatkan bahwa apa yang mereka lakukan adalah sebuah kesalahan. Kami bertujuan untuk memperlihatkan bagaimana menerima ideologi anarkis sebenarnya justru dapat menegasikan gol-gol mereka sendiri.

Sangat kontras dengan opini popular, ideologi bukanlah sebuah dosa asal. Ia juga bukan sesuatu yang dimiliki oleh setiap orang tanpa dapat terelakkan. Ia adalah sebuah fenomena kapitalisme; “ide tentang kekuasaan/ide yang melayani kekuasaan”. Spectacle, kebohongan utama dalam masyarakat Dunia Tontonan, terletak dalam penyeimbangan kekuasaan kelas. Saat segala macam distorsi telah mendukung spectacle, sistem saat ini hanya menyebarkan ide yang dimainkan sedemikian rupa sehingga ia dapat menjadi sebuah kebohongan. Maka, kami juga bertujuan untuk memperlihatkan dengan tepat peran yang dimainkan oleh anarkisme dalam sebuah dialog spectacle dengan dirinya sendiri.

Kaum Kiri

Mereka (kaum Bolshevik) sedang berusaha untuk menciptakan sebuah “gagasan dominan” yang baru, tanpa sebenarnya pernah benar-benar melawan ide tentang pemerintahan.

Menolak konsep “Kanan” dan “Kiri”. Harapan-harapan tersebut, yang juga bergema melalui banyak pemikir politis yang “netral”, hadir dari sebuah hasrat untuk melarikan diri dari tekanan sejarah. Dengan “melarikan diri dari pelabelan- pelabelan pemberontakan dan pendefinisian ulang radikalisme”, mereka yang berada dalam definisi kaum Kiri sekarang berpartisipasi dalam bidang politik agar dapat melindungi diri mereka sendiri dari pengasosiasian dengan para pendahulu mereka, dari liberalisme hingga Bolshevikisme.

Sialnya bagi mereka yang rasional tersebut, ketertarikan dalam sektor manajerial agar dapat melarikan diri dari sejarahnya yang hina sebagai kaum Kiri tidaklah sebesar ketertarikan untuk dapat bekerja sama sebagai kaum Kiri. Kaum Kiri, dari partai Komunis hingga para sosialis reformis, telah menjadi sektor “rasional” dari kaum borjuis, sektor yang paling berorientasi pada pembentukan kapitalisme negara.

Kaum Kiri dapat tampil dalam banyak bentuk. Baik ia “radikal” ataupun “reformis”, serikat-serikat pekerja menunjukkan bagaimana peran kaum Kiri dalam tataran hidup keseharian. Asosiasi pekerja dengan boss dan institusi negara, hampir selalu dapat ditemukan dan dianggap wajar, sejak ketiga pihak tersebut pada dasarnya adalah jaring pengaman sosial. Serikat pekerja, dalam hampir seluruh waktunya dihabiskan sebagai sebuah badan pengontrol pekerja agar tetap dapat berada di jalur, meminta kenaikan upah yang disaat yang sama juga meminta para pekerja agar bertingkah sesuai jalur hukum. Apa yang membedakan serikat pekerja dengan sebuah tinja adalah kemampuan mereka dalam “merepresentasikan” pekerja. Saat para pekerja tetap terisolasi dalam pekerjaan dan peran mereka sebagai pekerja, serikat pekerja dapat tampil sebagai sebuah ekspresi atas “aspirasi” para pekerja. Serikat pekerja juga dapat menjadi sangat represif saat para pekerja di bawahnya menjadi terlalu militan untuk dapat menerima tuntutan pasar. Ia akan beraksi mengontrol “perjuangan” dan memandulkan setiap aksi radikal yang seringkali dimunculkan oleh para pekerja.

Sistem proteksi seperti ini dapat disamakan dengan kerja-kerja badan amal, organisasi keagamaan, atau politik “progresif”. Tanpa membutuhkan kesadaran yang buruk, kaum Kiri berdiri demi terciptanya keadilan dalam sistem saat ini. Bagi konsumer, pembayar pajak atau borjuis kecil diberikan hak untuk mempertontonkan fungsi mereka dalam masyarakat. Setiap tuntutan proletariat akan digodok agar dapat menjadi “program televisi yang berkualitas” atau menjadi tuntutan hak untuk bekerja.

Birokrasi

Birokrasi adalah tempat dimana kaum Kiri disempurnakan perannya. Sebagaimana di abad pertengahan para raja tergantung pada para pendeta dan penasehatnya untuk menjustifikasi hak-hak suci bagi raja untuk memerintah, negara kapitalis juga membutuhkan ideologi untuk menciptakan sebuah teologi bagi negara untuk menjustifikasi pemerintahannya. Ideologi Kiri adalah sebuah tipe birokrasi; hal-hal yang memiliki kecenderungan menuju pembentukan sebuah sistem kapitalisme negara yang murni.

Saat kaum Kiri adalah pelayan dan penjustifikasi negara, retorika kaum Kiri selalu berorientasi tentang perubahan dalam masyarakat. Hal ini memang alamiah semenjak banyak varietas Kiri dibentuk sebagaimana birokrasi juga berusaha bertahan hidup di tengah perubahan masyarakat. Contoh paling utama dan paling nyata adalah kasus dimana Bolshevik sendiri yang sebenarnya memimpin (dan menghancurkan) revolusi Rusia. Tetapi bagaimanapun juga, kaum Kiri memang selalu tampil sebagai manajer militansi kelas proletar hanya selama terjadinya krisis dalam masyarakat; sementara dalam kesehariannya mereka beraksi tergantung pada peran mereka sebagai sub-boss di tengah masyarakat demi menjaga keutuhan posisinya.

Praktek terbuka grup-grup ekstrimis di Indonesia adalah berupa tentangan terhadap grup di atas mereka dalam sebuah legitimasi politik yang hirarkis. Lantas setiap grup juga akan mengekor grup lainnya yang secara visual memang mulai tampak menjadi “mainstream”. PKI berusaha untuk digantikan oleh PRD. PRD juga berusaha digantikan oleh PDS. Saat seluruh grup Leninis berkomitmen tinggi membentuk forum- forum, diskusi dan debat, juga pendistribusian materi-materi revolusioner, seluruh usaha mereka menjadi berhenti di level yang imbisil sejak mereka melakukan seluruh hal tersebut hanya untuk merekrut kader-kader baru.

Asosiasi-asosiasi yang dibentuk oleh grup-grup radikal, seperti PRD dengan politisi-politisi mainstream sebenarnya jelas sangat memalukan bagi grup itu sendiri. Di saat yang sama, semua elit-elit grup radikal di Indonesia biasanya dapat saling berdampingan erat di sebuah pesta diskusi akademis. Persatuan seluruh grup radikal tersebut lantas jadi sebuah praktek yang menyedihkan, karena ia bukan demi sebuah kesamaan program. Mereka bersatu sebagai sebuah jaringan birokratis yang berusaha menggali lubang bagi diri mereka sendiri.

Rekonstitusi Kaum Kiri

Amnesia massa yang saling dibagi-bagi sesama kaum Kiri, telah memperlihatkan bahwa kaum Kiri sebenarnya bergerak menuju sebuah bentuk baru bagi dirinya sendiri, bentuk yang melayani krisis kapital. Ideologi-ideologi sekarang diciptakan oleh para anarkis, “neoliberalis”, dan dekonstruksionis saat kaum Kiri sekali lagi dalam bentuknya yang baru, merekonstitusi diri untuk mempertahankan sistem dengan tampil sebagai oposisinya. (Apabila rekonstitusi ini adalah sepanci sup, maka kaum Kiri dapat diumpamakan sebagai tepung birokrasi; tambahkan sedikit air untuk membuat sup Stalinis, tambahkan sedikit susu untuk membuat sup Anarkis, dsb.).

Sejak tahun 1917, kaum Kiri telah didominasi oleh ide-ide tentang sistem pemerintahan. Hadirnya Stalinis setelahnya, yang memegang tampuk pimpinan dan menjadikan negara semakin absolut adalah sesuatu yang alamiah, dan menjadikan kelompok tersebut sebagai kelompok paling ideal di antara para birokrat. Birokrasi dapat memperlihatkan “keniscayaan saintifik”nya dalam level yang paling kejam. Partai- partai komunis yang lantas bermunculan dimana-mana, bisa dipahami sebagai hasil dari keniscayaan ini.

Saat ini, bagaimanapun juga, konversi Rusia menjadi kapitalisme gaya Barat telah mengenyahkan dasar bagi dominasi Stalinisme pada kaum Kiri. Dominasi kapitalisme atas dunia telah menjadi semakin jelas, sebagaimana ia juga semakin jauh membawa dunia ke jurang krisis. Dengan pengenyahan dasar bagi dominasi Stalinisme, kaum Kiri harus menemukan trik-trik lain, yang cocok untuk diterapkan pada era pasar bebas sekarang ini. Stalinisme nyatanya tak pernah lenyap, tetapi ia justru memperbanyak diri dalam berbagai bentuknya. Dan anarkisme kini tampil sebagai oposisi paling loyal terhadap Stalinisme, sementara Stalinisme menjadi oposisi paling loyal terhadap pasar bebas.

Profesor linguistik dunia yang terkenal, Noam Chomsky telah menunjukkan pada kita semua tentang bagaimana brand-brand baru yang sebenarnya merupakan sebuah tipuan tetap dibutuhkan oleh kaum Kiri. Walaupun Stalinisme, dalam bentuk nasionalisme Dunia Ketiga, saat ini dilapangkan jalannya oleh kapitalisme untuk negara-negara Dunia Ketiga, yang tak menemukan gandengan ideologisnya pada negara- negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Maka mereka yang memproklamirkan diri sebagai “simpatisan anarkis” jelas dibutuhkan untuk mempertahankan berbagai geng-geng pembebasan nasional Stalinis di seluruh dunia (pro terhadap pemerintahan Saddam Husein, misalnya dalam kasus Perang Irak kemarin). Chomsky sendiri, tetap saja sekedar jadi sebuah bentuk paling advance yang menghadirkan kebenaran parsial, yang melindungi kebohongan menyeluruh dari dunia kapital. Chomsky memang telah mencatat rekor dalam mendokumentasikan setiap kekejaman yang dilakukan oleh pemerintah-pemerintah Barat dan simpatisannya, tapi tak pernah sekalipun ia berspekulasi tentang sebab-sebab dari itu semua selain hanya menyoroti hasilnya, yaitu kebangkrutan moral para intelektual Amerika.

Anarkis-anarkis revolusioner dapat melihat kesempatan untuk menjadi kekuatan yang lebih kuat dengan menarik keuntungan dari kekacauan di tubuh Leninisme dan memperlihatkan “bagaimana Leninisme salah dan anarkisme benar”. Tentu saja, pemahaman mengenai anarkisme seperti itu benar-benar keliru; kaum Kiri Leninis juga tak sepenuhnya salah. Yang perlu dibeberkan adalah melihat dari sudut pandang yang menelanjangi ketertarikan para Leninis yang berada dalam posisi sebagai anggota dari elit yang teredukasi dengan sempurna; jika revolusi berjalan sukses, maka mereka bisa mendapatkan posisi yang lebih tinggi dalam sebuah birokrasi baru, karena partai akan memberikan posisi yang terbaik bagi mereka sebagai pemimpin dalam grup-grup mikro, yang memberikan mereka kekuasaan untuk memuaskan hasrat sadomasokistik mereka.

Tetapi begitupun anarkisme, ia justru menyalahpahami dirinya sendiri. Para anarkis mestinya sadar bahwa mereka tak memiliki lagi kemampuan untuk membentuk lagi sebuah tipe organisasi berbasis massa yang pernah eksis di Spanyol, Rusia dan Italia. Alasannya bukanlah pada penghianatan yang dilakukan secara ideologis oleh para anarkis sendiri (anarkis-anarkis Spanyol tersebut bergabung dengan pemerintahan Republikan Spanyol), melainkan karena tipuan-tipuan dan imaji yang ironisnya justru diadaptasi oleh mereka yang mengklaim dirinya anarkis. Di Indonesia misalnya, anarkisme tidaklah menjadi subsektor dari gerakan proletariat, ia hanya menjadi subsektor dari kaum Kiri yang terpinggirkan sehingga hanya mendapatkan tempatnya di tengah kultur punk rock yang tak berbahaya sama sekali.
Semenjak ia tak menemukan tempatnya di tengah-tengah kaum Kiri, ia tak dapat menahan kooptasi ideologi Kiri atau bahkan ia juga dapat digunakan demi kepentingan kaum reformis, dengan isu-isu yang juga reformis tentu saja. (Perhatikan bagaimana Food Not Bombs menjadi populer di beberapa kota di Indonesia, tetapi hadir dengan konsep amal yang reformis, ia tidak hadir sebagai sebuah gerakan konsolidasi komunitas yang baru). Saat para anarkis berpikir bahwa mereka telah melakukan sesuatu yang berarti, mereka justru terus bergerak menuju ideologi Kiri yang generik, bukannya menuju anarkisme. Anarkisme mainstream misalnya, ia telah mencapai titik dimana teori-teori revolusioner biasanya tereduksi menjadi sekedar pertanyaan moralis, pertanyaan yang tak perlu dasar pemikiran apapun selain hanya sekedar diperlukan perilaku pengorbanan diri dari para pemuda-pemudi kelas menengah.

Anarkisme di Indonesia semakin diperlukan oleh kaum Kiri, untuk menanggulangi semakin lemahnya peran mereka sendiri sebagai pelindung sistem kapitalisme. Sebagaimana kelas birokratis melemah, ia tak dapat lagi melindungi diri dengan menggunakan sains ataupun mitos modernitas, kini ia harus menggunakan moralitas, menghembuskan nafas-nafas religius. Perhatikan saja bagaimana kini kepentingan negara selalu diproteksi dengan isu-isu religius, dan bahkan juga oleh pemuka-pemuka agama itu sendiri.
Apa yang sebenarnya kita lihat saat ini sebenarnya bukanlah meningkat dan makin menyebarnya anarkisme, melainkan semakin memuncaknya transformasi kelas birokratis. Isu moral jelas melayani tujuan yang sama saat kekuasaan sains mulai kehilangan taringnya. Anarkisme dapat melayani kaum Kiri, tetapi hanya saat ia sendiri dihancurkan berkeping-keping terlebih dahulu sebelum ia memperbolehkan para intelektual Kiri mengambil alih eksistensi di dalamnya. Maka tak heran saat nyaris seluruh grup-grup anarkis di Indonesia (yang jumlahnya juga sangat sedikit) menjadi tak lebih dari sekedar boneka kaum Kiri.

Sekarang, kemungkinan bagi terjadinya revolusi Leninis di negara Dunia Pertama tampaknya sangat tak mungkin, maka target utama bagi para intelektual Kiri adalah dengan memposisikan diri untuk melindungi “revolusi-revolusi” negara Dunia Ketiga (dimana birokrat lokal mengambil alih kekuasaan dari despot-despot kekuasaan Amerika Serikat dan kroninya). Ini semua adalah tentang bagaimana ketertarikan kelas dipersatukan, dari Indonesia hingga Afghanistan dan Irak, para birokrat Dunia Ketiga adalah bagian dari kelas “manajerial” borjuis kecil yang sama. Sekali lagi, apa baiknya pemerintahan Taliban dan Saddam dibandingkan dengan negara kapitalis Barat, selain bahwa hanya karena mereka mengusung sentimen religius.

Moralisme adalah retorika yang memberi kesempatan bagi anarkisme untuk merekrut mahasiswa- mahasiswi yang emosional dan kehilangan arah (arti dari kehilangan arah disini tidak dimaksudkan sebagai sebuah hinaan, tetapi sebagai sebuah kata ganti yang lebih sopan daripada membeberkan langsung tentang bagaimana mahasiswa sebenarnya adalah grup inisiasi bagi keterlibatannya di kemudian hari di dunia kapitalisme), “Sejak revolusi tak ada lagi, kita harus mulai melakukan sesuatu untuk mengimprovisasikan dunia sekeliling kita!” (dengan mendukung grup-grup religius kampus atau isu-isu yang dibawa Aa’ Gym misalnya, yang mereka kalkulasikan jelas lebih baik daripada kapitalisme. Ha!).

Anarkisme menggantikan sisi saintifik Marxis-Leninisme dengan sebuah agnostikisme yang lengkap tentang hasil dari setiap aksi yang telah dilakukan. Dari para penggemar Noam Chomsky hingga aksi pasifis kaum Kiri, semua isu-isu moral membantu para intelektual Kiri mendapatkan kemungkinan untuk menjadi dominan, melalui visi metafisik tentang apa yang benar dan apa yang salah. Melalui grup-grup kecil anarkis, spiritualitas dibiarkan mendominasi agitasi mereka, yang sebenarnya menenangkan hasil opresi kelas birokrat. Unjung-ujungnya, mereka akan tampil sebagai aksi-aksi reformis dalam konteks bahwa “itulah yang paling radikal yang bisa dilakukan saat ini.”

Kebingungan Filsafat

Beberapa shift telah berjalan hingga saat ini, dengan cara rekuperasi hasrat perubahan yang satu kepada yang lainnya, dari romantisme hingga Leninisme hingga pasifis yang lekas berpuas diri seperti para vegetarian, kaum Luddit yang anti teknologi. Kaum Kiri yang telah berekonstitusi tersebut perlu untuk mengurangi segala bentuk pertanyaan pada satu bentuk pertanyaan saja: “sekarang apa yang bisa kita lakukan untuk membuat sesuatu menjadi lebih baik.” Kalau kamu bertanya siapakah “kita” yang dimaksud disitu, tentang apa yang dimaksud dengan “menjadi lebih baik”, mengapa hanya berpikir tentang terminologi “sekarang” saja, maka bukannya mendapatkan jawaban, malah kamu akan mendapat sebuah represi (dalam level psikologis ataupun organisasional).

Sebagaimana kaum Kiri telah bergerak untuk mendapatkan pengakuan dengan menggunakan moralitas, bukannya sains seperti dulu, gerakan filsafat dan seni telah menciptakan ideologi tentang kebingungan yang melengkapi dirinya. Dengan meningkatkan teror di tengah intelejensia, elemen-elemen yang paling membingungkannya dapat berakibat bergabungnya kembali kekuatan-kekuatan dalam level paling dasar: level moral.
Radikal-radikal yang paling pintar sekarang ini berusaha untuk menemukan dasar filsafat bagi praktek radikalnya yang tak koheren. Satu kandidat yang paling jelas untuk membenarkan pendapat ini adalah “gerakan dekonstruksionis”. Bentuk dekonstruksi dapat dimengerti dengan melihat kegagalan organisasi Situationist International (SI) di tahun 1960-an.

Sebagaimana serikat-serikat pekerja dewasa ini merepresentasikan aura militansi saat mereka di masa lampau telah bertanggung jawab atas penggagalan pemogokan sporadis dan aksi otonomus para pekerja, gerakan-gerakan filsafat dan artistik dewasa ini juga merepresentasikan radikalitas semu yang disaat yang sama justru menekan setiap kesadaran aksi radikal yang nyata yang telah mengambil tempat dalam melawan rencana-rencana artistik.

Degenerasi kultur dan spectacle bukan lagi menjadi sebuah kisah baru bagi mereka yang tahu betul bagaimana cara memandang sesuatu. Hal tersebut telah menjadi fokus terpenting dalam gerakan artistik yang paling advance, gerakan yang banyak terinspirasi oleh kerja-kerja Situationist International. Kalau tak ada lagi diskusi umum tentang degenerasi ini, ini semua adalah karena ketertarikan di era ini untuk membuat kesimpulan-kesimpulan akhir menjadi bagian penting dari kerja-kerja mereka dan membuatnya tampil dalam visi mereka sehari-hari. Lingkungan pergaulan artistik tersebut tak dapat lagi melakukan hal ini karena kegagalan gejolak yang muncul di era 1960-an.
Metoda yang digunakan oleh SI mencakup sebuah kehendak untuk menyerang, untuk memperlihatkan kesegaran dalam kajian akademis yang membosankan. “Untuk membawa kekerasan para penjahat ke tataran ide.” SI telah mengetahui bahwa metoda ini dapat bergerak baik melampaui kontrol manapun yang paling lihai saat ini atau membuatnya menjadi sekedar dunia ide yang jelas-jelas spektakular.

Secara alamiah, dekonstruksi memiliki kecenderungan yang telah bergerak semakin jauh ke tataran spektakular. Ada banyak yang akan melontarkan argumen melawan kecenderungan ini, tetapi itu hanya akan mereka lakukan sampai segala kemungkinan yang mereka lihat tersebut menjadi begitu melelahkan. Masalah yang kita miliki saat ini adalah adanya dominasi mereka yang ahli–metoda terkuat yang memang digunakan oleh penguasa saat ini untuk membuat masyarakat tetap berada di bawah kontrol–ditunjang dengan sejumlah besar informasi yang terspesialisasi, yang diproduksi oleh masyarakat kita (industri kata-kata memproduksi kata-kata lebih banyak dari kemampuan seseorang untuk membaca, bahkan apabila seseorang membaca terus menerus selama 24 jam sehari). Dalam situasi ini, sejumlah kecenderungan yang tidak koheren dapat membentengi posisi mereka hanya dengan sekedar membuat teks- teks yang semakin sulit untuk dipahami.

Dekonstruksi dan postmodernisme adalah sebuah produk dari yang cukup baru, yang mengambil keuntungan dari keadaan yang kacau balau dewasa ini. Posisinya sendiri sebagai sesuatu yang paling baru, paling radikal dan menampilkan pemikiran yang nyata, telah berakhir. Dekonstruksi hanya membiarkan dirinya untuk dimengerti dalam terminologinya sendiri. Ia juga meraup kritikusnya, dengan melabeli mereka sebagai seorang dekonstruksionis. Dalam “Against Deconstruction” dideskripsikan bagaimana gramatologi Derrida bermula dengan pernyataan yang tegas tentang lebih pentingnya bahasa tertulis daripada bahasa oral. Pernyataan ini tidak hanya absurd baik dalam terminologi historis maupun dalam terminologi pemenuhan ekspresi, dua terminologi yang dianggap tak penting dalam sebagian besar argumen Derrida. Pernyataan tersebut juga sebagian besar malah melembutkan pembacanya. Ia mengetahui betul bahwa akan ada sebuah seri pernyataan-pernyataan lain yang mengikutinya, ia juga menandai hal ini bukan sebagai konsekwensi logis, melainkan lebih sebagai teater radikalisme. Pernyataan-pernyataan lain susulan tersebut juga dibuat dengan penghapusan oposisi, sama dengan yang diangkat oleh pernyataan awal Derrida.
Dekonstruksi memfokuskan diri pada pembentukan lumpur yang semakin pekat dan dalam. Maka karenanya kami merasa perlu untuk membuat sebuah serangan “yang tidak adil” terhadap gerakan-gerakan yang memusingkan tersebut.

Sebagaimana kapital telah menjadi stagnan dalam kurun sepuluh tahun terakhir ini, metoda rekuperasi belumlah berhasil memanajemeni pertumbuhan stok-stok baru yang inovatif untuk dilemparkan ke pasar sehingga ia hanya mengulang-ulang produk lama dengan label “retro”; para pembicara yang paling vokal dari gerakan radikal yang samar-samar ini (dekonstruksionisme), membelokkan spectacle yang tak beregenerasi ini pada bentuk degenerasi sebagai sebuah spectacle. Tapi ia hanya dapat merekuperasi ide-ide yang paling mudah dibabat, membangun skeptisisme yang buntu ke dalam kebuntuan filsafat dan pada akhirnya juga pada sebuah kebuntuan radikalisme. Fakta bahwa bahasa filsafat menjadi tak berarti bagi para pemikir dewasa ini, ia hanya sekedar menjadi sebuah seri pemikiran yang tak pernah kemana-mana selain hanya sekedar menjadi teks.

Maka tak heran apabila lantas Baudrillard, bersama-sama seluruh gerombolan “gerakan dekonstruksionis” hadir sebagai sebuah respon bagi radikalitas yang paling aktual dewasa ini, yang direpresentasikan oleh organisasi SI pada pertengahan abad lalu. Hal tersebut telah dikemukakan oleh SI sendiri, yang menyatakan bahwa tak seluruh batas-batas masyarakat saat ini telah terkuasai oleh sistem, ide masih dapat menjadi sebuah ancaman bagi fondasinya, bahkan juga bagi sektor akademik dari kapital. Masalahnya, para akademisi sadar akan hal ini dan untuk melawan ini semua, mereka merasa bahwa ada sebuah kebutuhan untuk menciptakan sebuah jenis radikalitas yang abstrak, yang berlomba melawan radikalitas yang eksis secara eksplisit saat ini. Hegel, Marx dan Nietzsche adalah filsuf-filsuf yang paling banyak dimanfaatkan untuk kepentingan ini.

Dengan mengkonversi Marx, Baudrillard dapat kembali pada filsafat Hegel; segala sesuatu yang eksis adalah apa yang dapat dijustifikasi oleh aksi yang juga filosofis. Saat ekonomi pasar terbukti harus dilenyapkan, Baudrillard tak melakukan apapun selain hanya menjual buku-buku yang cocok dibaca di kafe- kafe saat sore datang menjelang.

Bagian terpenting yang perlu juga diperhatikan dari gerakan tersebut adalah bahwa ia tak dapat secara langsung merekuperasi SI sebagaimana para akademisi Marxis merekuperasi ide-ide Marx, membiarkan berlangsungnya “Marxisme untuk semua orang” yang melenyapkan kontradiksi yang menjadi poin penting dari filsafat Marx. SI masih terlalu berbahaya karena secara eksplisit ia menerangkan tentang metoda praksisnya. Pencarian Baudrillard tentang sebuah “ekonomi politik dari sistem tanda” sebenarnya tak lebih dari sebuah usaha untuk mengaburkan usaha Debord yang menerangkan tentang Masyarakat Dunia Tontonan, mengkonversinya menjadi sebuah Dunia Tontonan tanpa aplikasi masyarakat. Kapitalisme bahkan selanjutnya juga menciptakan sebuah “situationisme” yang samar. Jikalau “seluruh konsepsi tentang strategi kelas dipahami sebagai kepemilikan material dan produk kultural”, maka ini semua berbicara tentang strategi kapitalisme. Telah diketahui banyak orang, bagaimana Baudrillard memfokuskan diri untuk melarikan sudut pandang Marx dari paradigma Marxis. Baudrillard mengembangkan sebuah cara untuk menyalahkan “pencipta” kalian atas penderitaan yang kalian alami, sebagaimana menyalahkan Marx atas Marxisme.

Mengutip kalimat-kalimat Nietzsche tentang bagaimana ia begitu mencintai kaum radikal, jika semasa Nietzsche hidup “dunia telah menjadi terlalu sempit” sehingga sebuah free-spirit “harus memasuki rumah filosofis”, saat ini rumah filosofis telah terlalu sempit bagi sebuah free-spirit bahkan untuk sekedar dapat dimasuki.

Aksi-aksi radikal kaum post-strukturalis, dekonstruksionis dan postmodernis hanya akan menjadi radikal apabila dunia memang tak diikutsertakan. Wawasan filsafat telah berulang kali dikerjakan dengan sebuah kepintaran yang tolol sehingga ia tak pernah lepas dari hanya sekedar wawasan berfilsafat. Para poststrukturalis telah menyerahkan diri mereka saat mereka dengan lantang mengklaim bahwa mereka telah menciptakan “sebuah teori baru yang fundamental.”

Berlaku bak selebritis, para filsuf itu menghadapi nihilisme ironis yang juga dihadapi oleh seniman modern atau musisi rock yang mengadopsi sebuah perilaku yang tak berbeda kepada keseluruhan dunia industri kultural, saat mereka memposisikan diri mereka agar tampil sebagai bagian yang paling advance. (Bagi para filsuf, industri kulturalnya adalah universitas yang dapat memproduksi intelektual-intelektual baru yang mengkonsumsi teori-teori “radikal” mereka).

Bintang-bintang abad baru telah lebih dapat memaafkan diri mereka sendiri dibandingkang bintang-bintang abad lampau yang berpura-pura inosens atas apa yang mereka lakukan, dan mereka semua menyatakan bahwa dunia lama telah terlalu sulit untuk ditransformasikan, sehingga tak ada cara lain untuk hidup selain meleburkan diri ke dalamnya.

 

Sebuah adaptasi dari zine “Nihilis Issue 1.0″

Publikasi ini ditulis oleh Jalu

Kiri Tidak Pernah Belajar Apapun !

Saya mengapresiasi pergerakan kaum kiri seperti Perjuangan hak hak buruh, Reforma Agraria, tetapi hanya sebatas simpatisan dan tidak pada barisan yang sama dengan mereka selain hanya untuk bersolidaritas, menciptakan ruang lebih luas untuk meruntuhkan dampak buruk yang disebabkan oleh negara dan kapitalis.

Saya tidak senaif itu untuk sepenuhnya menolak organ organ kiri (kolektifis), semuanya hanya sebatas perkawanan insureksi. Tetapi saya juga tidak sepenuhnya setuju dengan mereka, dimana mereka membatasi ruang bagi individu untuk berkembang dengan embel embel mementingkan kepentingan bersama di atas kepentingan individu, tetapi yang perlu ditekankan disini adalah kepedulian kolektif itu sendiri dengan kawan kawan  dalam kolektif itu sendiri, selama ini kolektifis hanya peduli terhadap pandangan politik kawan, tanpa memerhatikan kondisi dari individu itu sendiri. Lalu apa beda mereka dengan kaum kaum kapitalis yang hanya peduli dengan politik mereka sendiri tanpa memerhatikan kondisi masyarakat mereka. Organ organ kiri selalu gagal dalam menjaga kawannya sendiri, karena mereka egois dengan lebih menjaga kawan yang lebih maju dan lupa untuk saling memajukan antar kawan. Selama ini organ kiri masih tidak bisa terlepas dengan penokohan maupun partai partai politik, mereka tidak pernah belajar dari masa lalu.

Menurut saya paham kiri adalah paham yang sudah sangat usang, karena selama ini pergerakan kiri tidak pernah menghasilkan apapun selain calon calon penindas baru. Penindasan tidak hanya secara ekonomi, sosial, dan budaya, melainkan pembatasan hak hak individu serta penolakan terhadap individu yang unik adalah tragis!

“Kelompok kecil yang bertemu tanpa dipersatukan jauh lebih kokoh, daripada ilusi massa kolektif, jangan pernah terkontrol oleh orga organ external selain dari diri kita sendiri”

Publikasi ini ditulis oleh Jalu

Seni dan Jati Diri di Era Kapitalisme

Perkembangan kapitalisme dan seni bagaikan hubungan dua kekasih di mana seorang melakukan ataupun mengatakan sesuatu yang hanya kau kira ingin kau dengar dan kau lakukan, tidak ada alasan untuk membantah atau marah padanya sebab pasanganmu selalu sejalan dengan segala kemauanmu, harusnya kau bahagia namun tetap saja merasa hampa.”

Seni adalah aktivitas manusia untuk menciptakan berbagai produk/artefak rupa, pertunjukan atau pendengaran yang mengekspresikan keahlian teknis, kearifan atau unsur ekstrinsik lain dari perupa itu sendiri agar dapat diapresiasi dan memberikan output estetis atau nilai lainnya. Definisi seni sendiri sudah menjadi polemik yang tidak pernah berhenti sepanjang waktu. Pengertian seni sendiri selalu meninggalkan banyak pertanyaan. Seperti jika seni memberikan output berupa nilai estetis atau hal lain, apakah berarti produk seni itu sendiri bukan yang utama dalam seni ? Jika seni berupa nilai, berarti penilaian masing masing individu akan sangat relative, lalu apakah sah hal yang subjektif tersebut untuk dinilai ataupun dikritik?

 

Jati Diri Seni

Terdapat banyak jenis klasifikasi dari seni itu sendiri, tapi kali ini saya akan berfokus kepada seni murni, kenapa seni murni? Karena seperti Namanya “murni” seni murni ini memegang nilai kemurnian yang tinggi, berbeda dengan jenis seni yang lainnya. Idealisme seni murni sepenuhnya diciptakan untuk berekspresi dan memberi kesan terhadap konsumen. Seni murni sendiri tidak tidak hanya mengenai bentuknya, melainkan konsep bagaimana suatu karya itu tercipta.

Andy Warhol seniman dari Amerika, mendefinisikan seni murni sebagai seni yang tak memiliki batas artinya bebas, dimana seniman dapat menuangkan idenya sebebas-bebasnya tanpa ada tuntutan eksternal.

Saat Van Gogh melukiskan Starry Night, ia meletakkan langit berbintang versinya pada lukisan fenomenal tersebut. Meskipun komentar orang lain akan rupa langit yang sesungguhnya berbeda, tujuan utama Van Gogh dalam lukisannya bukan untuk mengimitasi langit sesempurna mungkin, melainkan menjadikan langit tersebut sebagai media ekspresi. Personalisasi ini yang membentuk suatu ciri khas dari tiap-tiap seniman.

Starry Night – Van Gogh

 

Kapitalisme, Seni, dan Komersialisi

Dalam sejarah seni, patronage merupakan salah satu hal dominan untuk seniman dalam berkarir di mana mereka bekerja langsung di bawah perlindungan para orang berkuasa seperti bangsawan, kerajaan, maupun gereja. Istilah “patronage” menjadi umum digunakan pada abad ke 16 di Eropa, namun praktiknya sendiri sudah terjadi sebelum masa tersebut di berbagai negara lainnya seperti China. Mereka menjadi pelukis, penyair ataupun pemusik kerajaan dan mendapatkan uang, (dalam beberapa kasus) tempat tinggal, perlindungan dan juga pendidikan dari pihak yang membiayai mereka. Selain itu, seniman mendapatkan uang dari pesanan komisi konsumennya, mereka membuatkan apa yang diinginkan oleh kliennya. Pada konsep ini, nilai jual seniman terletak pada keterampilan dan kemampuan teknis dalam menciptakan karya seni. Dalam kata lain, mereka menjual jasanya. Para seniman tidak dapat lepas dari sistem tersebut karena sarana yang tersedia untuk menunjukkan karyanya pada jangkauan luas di masa itu sangat terbatas. Mereka tidak dapat menjual karyanya kepada tetangga mereka, yang untuk makan saja sulit, sehingga mereka butuh dilihat dan diminati oleh kalangan atas untuk meneruskan karirnya.

Les Demoiselles d’Avignon – Pablo Picasso

Peradaban Eropa mendapati proses komersialisasi seni mengalami ekspansi besar di Antwerp pada abad ke-16 oleh kemunculan pasar seni. Antwerp berhasil mengekspor lukisan, ukiran, buku dan berbagai produk mewah lainnya menuju daerah Baltik hingga Mediterranean Basin pada periode tersebut. Kunci kesuksesan Antwerp terletak pada tradisi artistik yang telah lama berakar di bagian selatan Belanda, juga pergantian metode pemesanan karya berdasarkan komisi menjadi produksi untuk pasar terbuka. Dengan begitu, siapa saja dapat menjual dan siapapun dapat membeli. Berkembangnya pasar seni merupakan hasil dari peningkatan permintaan akan produk mewah. Perkembangan pesat ini menyebabkan peningkatan komoditas karya seni.

Pada lukisan sendiri, komersialisasi berhasil menciptakan diversifikasi akan aliran dan genre sebagai inovasi untuk mendapatkan permintaan baru. Seniman mendapat kebebasan lebih dalam berkarya. Peran vital Antwerp pada alur perdagangan di Eropa ini memperkenalkan teknik komersial kapitalis dalam pemasaran dan pembuatan karya seni.

Komersialisasi menjadi alat apresiasi dan perkembangan seni di dunia. Hal ini tidak hanya terbatas pada karya seni rupa saja, melainkan musik dan juga literatur. Proses komersialisasi berhasil membantu perkembangan dunia seni, mulai dari aliran, jumlah, ataupun jangkauannya. Mengikuti fenomena ini, ketika jenis atau genre komoditas yang tersedia di pasar masih sedikit, maka kapitalisme akan memasuki mode ekstensif, atau tahap awal dalam kapitalisme, di mana produksi dilaksanakan dengan mengembangkan jenis-jenis baru untuk menjangkau permintaan-permintaan baru seluas mungkin. Hal ini terjadi karena sedikitnya barrier to entry ke dalam pasar terbuka sehingga semua orang dapat masuk ke dalam pasar, baik untuk menjual ataupun membeli karya

The False Mirror – René Magritte

Seiring waktu, banyaknya variasi di pasar seni menyebabkan mudahnya barang untuk masuk ke pasar sehingga terbentuk segmentasi pasar untuk memudahkan pengelompokan produk dan permintaan. Meskipun sistem ini membuka kesempatan bagi seluruh seniman, namun kapitalisme tetaplah kapitalisme. Ketika memasuki periode komoditas yang variatif, industri dapat melihat pola penjualan, “mana yang lebih menguntungkan?” Di tahap ini, pasar akan masuk ke mode intensif, di mana pasar tidak kuat menanggung seluruh variasi yang ditawarkan oleh senimanPada akhirnya terjadi penyisihan karya yang “tidak menguntungkan” bagi pihak perantara.

Jeremy Rifkin, seorang ekonom Amerika, menyatakan kapitalisme mengerucutkan pasar sesuai dengan diminishing consumer base for very specialised products and services. Salah satunya terjadi pada lukisan beraliran romantisme; galeri-galeri yang menerima lukisan romantisme mulai menurun karena idealisme seni yang menyempit di masyarakat. Idealisme ini merupakan konsep di mana seorang seniman memandang dan menggunakan seninya sesuai dengan sugesti dari emosinya, namun tidak semuanya dapat masuk dalam industri seni. Karakteristik kapitalisme ini dijelaskan dalam teori Culture industry, di mana industri memanipulasi selera masyarakat terhadap seni. Yang mana yang seni? Yang mana yang seharusnya saya suka?. Dealer berusaha menyamakan idealisme masyarakat terhadap seni sehingga variasi permintaan semakin menurun dan terpusat pada beberapa aliran saja. Pemusatan produk ini didasari pada dominasi permintaan masyarakat yang ada di pasar. Hal ini mendorong produk menjadi khusus dan langka karena menghadapi permintaan yang tinggi, sehingga menyebabkan meroketnya nilai dan harga dari suatu karyaSistem ini meletakkan pihak ketiga, dealer, pada posisi utama dalam industri. Meskipun terkesan spektakuler saat seni diberi harga jutaan dolar, pasar justru menjadi semakin eksklusif untuk para seniman. Apakah ini adalah hal yang baik bagi industri seni? Terdapat banyak sudut pandang yang harus dipertimbangkan untuk menentukan baik atau tidaknya, namun secara konsep, karya seni yang dijual sebagai “seni murni” tidak lagi sepenuhnya berdasarkan orisinalitas, ekspresi, maupun kebebasan seniman sendiri, melainkan menyesuaikan karyanya terhadap kriteria pasar yang sudah dimanipulasi menuju suatu “kesamaan”Pada akhirnya, seni mati dalam permainannya sendiri.

Bagaimana dengan keindahan? Penilaian terhadap estetika bersifat kontroversial dan tidak memiliki indikator yang  universal, atau singkatnya keindahan itu subjektif. Saat keindahan tidak menjadi hal utama dalam pemberian harga pada suatu karya seni, kekuasaan pasar seni tidak lagi berada di tangan seniman melainkan di tangan pihak ketiga, mereka yang punya kuasa dalam menentukan arah pasar kedepannya.

Seniman hanya bisa berharap pada pseudo-professionalism dari marketplace, tempat mereka menggantungkan fatamorgana konsumennya untuk bertahan hidup. Kapitalisme mendorong peran dan dominasi pihak perantara dalam industri seni sehingga pada akhirnya meninggalkan seniman kembali berjuang sendirian untuk seninya. Pihak yang tadinya membuka barrier telah menjadi barrier itu sendiri, sebagai ‘moderator’ dan penentu haluan pasar seni.

 

Industri Seni Zaman Modern

Automat – Edward Hooper

Terdapat perkembangan-perkembangan di dunia, salah satunya dengan hadirnya internet yang menghubungkan semua orang yang dapat mengaksesnya. Meski pengaruh antara pihak ketiga, seperti galeri, label musik, ataupun penerbitan, dengan internet tidak dapat disamakan, namun internet dapat menggantikan mereka secara fungsional. Tujuan awal untuk mempertemukan para seniman dengan calon konsumennya dapat terjadi di internet, tanpa perlu pihak perantara, hanya sarana saja. Marketplace untuk industri seni mulai berkembang meninggalkan gaya ortodoksnya, terutama secara daring. Para penggiat seni dapat menjajakan produknya di banyak tempat, mulai dari media sosial, blog, ataupun platform langganan. Dengan begitu, para seniman punya alur lain yang dapat ditempuh untuk berkarir selain lewat dealer sebagai pihak ketiga.

Internet menyediakan pasar dengan variasi dan segmentasi pasar yang tidak terhingga. Walaupun begitu, tidak dapat dipungkiri bahwa dominasi permintaan terhadap jenis/aliran seni tertentu tetap tercipta. Hal ini terjadi karena kontrol utama pada akhirnya terletak pada masyarakat sendiri. Kembali ke jati diri seniman secara personal, apa ingin mengikuti arus atau mempertahankan idealismenya. Dengan barrier yang rendah, apapun pilihan yang diambil, persaingan tetap terbuka bagi semua orang dan semua permintaan. Semua orang punya kesempatan yang sama untuk menawarkan karya tanpa harus mengorbankan idealismenya untuk masuk ke segmentasi pasar tertentu. Penerapan konsep tersebut merupakan salah satu karakteristik dari kapitalisme yang sempurna itu sendiri. Hal ini menandakan seniman dituntut untuk menyesuaikan diri agar tidak terdominasi oleh pihak lain dalam arena kapitalisme ini. Produk yang gagal dapat diperbaiki, sistem dapat dimanipulasi, jati diri dapat diraih kembali. Sekarang pertanyaannya: bisnis dan seni, siapa yang lebih kuat dalam industri ini?

Publikasi ini ditulis  oleh Jalu